Bismillahirrohmaanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
BAB 1
HAKIKAT FIQIH
A. Pengertian Fiqih Dan Ushul Fiqih
Pengertian fiqih secara
etimologi adalah mengerti, faham. Sedangkan definisi fiqih secara
terminologi, ialah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at
atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang
bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.
Pengertian ushul fiqih
secara etimologi adalah akar, dasar. Sedangkan definisi ushul fiqih
secara terminologi, ialah kaidah-kaidah yang digunkan untuk mengeluarkan
hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang
menetapkan dalil-dalil hukum).
Dalil-dalil
yang dimaksud ialah undang-undang (kaidah-kaidah) yang ditimbukan dari
bahasa. Maka dengan uraian di atas dapat difahami bahwa yang dikehendaki
dengan ushul fiqih adalah dalil-dalinya yaitu seperti Al-Qur’an,
Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
Dalam membahas ta’rif ushul fiqih terdapat dua pengertian dan dimaksud yang terkandung di dalam perkataan ushul fiqih.
Pertama, merupakan suatu rangkaian lafaz yang terterambil dari kalimat ushul fiqih dan kalimat fiqih.
Kedua, perkataan ushul fiqih merupakan bagian suatu cabang atau disiplin ilmu pengetahuan.
B. Perbedaan Pengertian Antara Fiqih Dan Ushul Fiqih
Pengertian Fiqih
Kata fiqih berasal dari kata fakiha-yafqahu-fiqhan, yang berarti mengerti atau faham. Ilmu Fiqih ialah
suatu yang mempelajari syari’at yang bersifat amaliyah (perbuatan) yang
diperoleh dari dalil-dalil hukum yang terinci dari ilmu tersebut.
Menurut
para fuqaha’ (faqih), fiqih merupakan pengertian zhanni
(sangkaan/dugaan) tentang hukum syari’at yang berhubungan dengan tingkah
laku manusia. Pengertian mana yang dibenarkan oleh dalil-dalil hukum
syari’at tersebut terkenal dengan ilmu fiqih.
Beberapa ulama’ mendeskripsikan ilmu fiqih sebagai berikut;
Prof. Dr. TM Hasbi ash Shidieqy.
“Fiqih
merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat besar pembahasannya, yang
mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam dan bermacam aturan hidup,
untuk keperluan seseorang, golongan dan masyarakat umum.
Jadi
secara umum ilmu fiqih itu dapat disimpulkan bahwa jangkauan fiqih
sangat luas, yaitu membahas masalah-masalah hukum Islam dan
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan kehidupan manusia.”
Ust. Abdul Hamid Hakim.
- “Fiqih menurut bahasa adalah faham, maka tahu aku akan perkataan engkau, artinya faham aku”.
- “Fiqih menurut istilah ialah mengetahui hukum-hukum agama Islam dengan cara atau jalannya ijtihad”.
Pengertian Ushul Fiqih
Sebagaimana
diketahui, kata ushul adalah akar, atau juga dapat diartikan dengan
dasar dalam arti tamtsilan. Jika fiqih adalah paham mengenai sesuatu
sebagai hasil dari kesimpulan pikiran manusia, maka Ushul Fiqih
adalah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum
yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.
Beberapa pakar ilmu fiqih mendeskripsikan ushul fiqih sebagai berikut.
Abdul Wahab Khalaf
“Ushul
fiqih adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang
merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara’ yang amaliyah dari
dalil-dalilnya secara rinci. Atau kumpulan-kumpulan kaidah dan
pembahasan yang merupakan cara untuk menemukan (mengambil) hukum syara’
yang amaliyahnya dari dalil-dalilnya secara rinci.”
A. Hanafie
- “Ushul
ialah sumber atau dalil. Fiqih ialah mengetahui hukum-hukum syara’
tentang perbuatan seorang mukallaf , seperti hukum wajib, haram, mubah,
sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan lain-lain. Orang-orang yang
mengetahui hukum-hukum itu disebut faqih. Hukum-hukum tersebut ada
sumbernya (dalilnya), yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Jadi
yang dimaksud dengan ushul fiqih adalah sumber (dalil-dalil) tersebut
dan bagaimana caranya menunjukkan dalil-dalil tersebut kepada sesuatu
hukum dengan cara ijmal (garis besar).”
Dengan
demikian telah dapat difahami bersama berdasarkan ta’rif atau
definisi-definisi yang telah dijelaskan diatas tentang
pengertian-pengertian serta perbedaan-perbedaan antara fiqih dan ushul
fiqih.secara meluas dan mendalam.
BAB 2
FIQIH DAN KEGUNAANNYA
A. Kedudukan Fiqih Sebagai Sumber Hukum Setelah Al-Qur’an Dan Hadits
Sebagaimana
telah diketahui bahwa Al-Qur’an menempati kedudukan pertama dari sumber
hukum yang lain dan merupakan aturan dan dasar tertinggi. Semua sumber
hukum maupun norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an.
Dalam hal ini fiqih menempati urutan ke tiga sebagai sumber hukum
setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sejak
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, persoalan hukum yang tidak dijumpai
dalam nas, membuat lahirnya hukum (ijtihad) para sahabat. Dalam hal
melakukan ijtihad untuk memecahkan pesoalan ini para sahabat terlebih
dahulu melihat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, jika hukum yang
dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, para sahabat kemudian merujuk
pada sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Nabi SAW tersebut tidak
dijumpai pula hukum yang dicari, para sahabat kemudian melakukan
ijtihad.
Sumber
hukum fiqih yang dimaksud adalah landasan yang digunakan untuk
memperoleh hukum fiqih. para ulama’ berpendapat tentang kedudukan fiqih
sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan menjadikan
hukum fiqih sebagai pegangan dalam menentukan hukum sesuatu peristiwa
yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dalil
yang dijadikan para ulama’ untuk dijadikan alasan antar lain ialah;
Firman Allah SWT, QS. Yunus ayat 36
وَمَايَتَبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلاَّضَنًّا اِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْأً ِانَّ الله َعَلِيْمٌ بِمَايَفْعَلُوْنَ.
“Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
B. Kegunaan Ilmu Fiqih
Fiqih
dalam Islam sangat penting fungsinya karena ia menuntun manusia kepada
kebaikan dan bertakwa kepada Allah SWT. Setiap saat manusia itu mencari
atau mempelajari keutamaan fiqih, karena fiqih menunjukkan kita kepada
sunnah Rasulullah SAW serta memelihara manusia dari bahaya-bahaya
kehidupan.
Beberapa diantara kegunaan ilmu fiqih adalah :
1. Untuk mencari kebiasaan faham dan mengerti pengertian dari agama Islam.
2. Untuk mempelajari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
3.
Sebagai kaum muslimin kita harus bertafaqquh, artinya memperdalam
pengetahuan dalam hukum-hukum agamabaik dalam bidang aqidah dan akhlak
maupun dalam bidang ibadah maupun mu’amalat.
Jelasnya, tujuan mempelajari ilmu fiqih adalah menerapkan hukum syara’ pada setiap perkataan
dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan-ketentuan fiqih yang
dipergunakan untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi dasar
fatwa. Seorang yang mengetahui dan mengamalkan fiqih akan dapat menjaga
diri dari kecemaran dan lebih takut dan disegani oleh musuhnya.
C. Fungi Ijtihad
Fungsi ijtihad pada umunya adalah untuk mengetahui atau mendapatkan hukum syara’ dengan melalui dalil-dalil syara’ pula.
Sedangakan fungsi ijtihad secara khusus adalah:
1. Mencurahkan segala kemampuan untuk:
- Mengetahui nas Al-Qur’an dan As-Sunnah.
- Mengetahui masalah ijma’ dan masalah-masalah yang ditetapkan hukumnya.
- Mengetahui bahasa Arab sebagai dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah
- Mengetahui ilmu ushul fiqih, karena merupakan dasaar ijma’.
- Mengetahui nasikh-mansukh, karena tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkan dalil mansukh.
2. Menghasilkan hukum syara’
Setiap
peristiwa yang terjadi tentu ada dan harus ada hukumnya, sedangkan nas
dan hadits terbatas jumlahnya. Maka ini berarti harus dilakukan ijtihad
sebagai alat pengganti hukum.
3.
Melahirkan hukum bagi peristiwa yang berkembang dan terjadi sebagai
akibat perkembangan zaman. Dengan demikian hukum Islam terus berkembang
sesuai dengan di
BAB 3
RUANG LINGKUP FIQIH
A. Pembidangan Ilmu Fiqih
Dalam berbagai literatur telah banyak ditemukan ulama’ fiqih membagi ruang lingkup fiqih secara garis besar terbagi dua, yaitu:
1. Muamalah (Hablum Minannas)
Yang
dimaksud dengan mu'amalah adalah seluruh akad yang dengannya manusia
saling tukar-menukar kebutuhan. Al Quran telah mengemukakannya dengan
global kaidah-kaidah umum, seraya menyerahkan perinciannya kepada para
mujtahid dari umat ini (Islam). Sebagian dari kaidah-kaidah umum (kaidah
qauliyah) adalah sebagai berikut:
a. Allah menyuruh secara 'am (umum) untuk memenuhi janji. Allah berfirman dalam surat al Maidah ayat 1. Yang artinya: "Hai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu"
b. Allah melarang memakan harta manusia secara batal dan memberikannya kepada para hakim. Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 188.
وَلاَ
تَأْ كُلُوْاأَمْوَ لَكُمْ بَيْنَكُمْ بِلْبَطِلِ وَتُدْ لُواِْبهاَ
اِلىَّ الْحُكَّامِ لِتَأْ كُلُواْفَرِيْقًا مِنْ أَمْوَلِ النَّاسِ
بِاْلاِءْثِم وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
Artinya: "Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu
dengan jalan yang batal dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim-hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui"
- Al Quran mengemukakan dengan sifat khusus bagi jual beli yang merupakan sepenting-penting pertukaran, Allah menyebut halalnya jual beli dan haramnya riba. Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 276.
يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَواوَيُرْبِىالصَّدَ قَتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلًّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ.
Artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafirannya dan selalu berbuat dosa"
Ada
beberapa hal yang merupakan prinsip fiqih Muammalah. Prinsip tersebut
berkaitan dengan hak, milik, harta dan tasarruf (tindakan hukum).
Tasarruf adalah segala tindakan yang muncul dari seseorang yang
kehendaknya dan syara' menetapkan beberapa hak atas orang tersebut.
Tasarruf ada dua macam, yaitu tasarruf fi'li (segala tindakan yang dilakukan dengan anggota badan selain lidah) dan tasarruf qauli (segala ucapan yang berkaitan dengan transaksi). Tasarruf qauli ada dua bentuk, yaitu 'aqdi (perkataan kedua pihak yang berhubungan seperti jual beli dan menyewa) dan ghairu 'aqdi
(pernyataan mengadakan hak atau menggugurkannya seperti wakaf dan talak
serta ada yang berupa tuntutan hak seperti gugatan, ikrar dan sumpah
untuk menolak gugatan). Pembicaraan mengenai fiqih Muammalah meliputi
bentuk-bentuk perikatan tertentu, seperti
a. Jual beli
b. Rahn (jaminan/rungguh)
c. Kafalah (jaminan hutang)
d. Al Hajr (pengampuan)
e. Syirkah (perserikatan dagang)
f. Ijarah
g. Ariyah (pemberian hak guna)
h. Al Wadi'ah (barang titipan)
i. Muzara'ah atau mutsaqah (penggarapan tanah)
j.
Syuf'ah (hak istimewa yang dimiliki seseorang atas harta tidak bergerak
tetangganya, apabila yang disebut terakhir ini akan menjualnya)
k. Luqatah (barang temuan)
l. Ji'alah (imbalan menemukan barang)
m. Al Qismah (pembagian milik bersama)
n. Hibah
o. As Sulhu (perdamaian)
p. Ibra
Beberapa
persoalan yang berhubungan dengan hukum dagang juga dibicarakan oleh
fuqaha Islam dalam bagian Fiqih Muammalah, seperti syarikat dagang,
macam seperti bagaimana mengadakannya dan kedudukan hukumnya. Bahkan
diantara syarikat-syarikat tersebut ada yang dibicarakan tersendiri
seperti Mudarabah atau Qirad. Hal lain yang dibicarakn oleh fuqaha Islam
ialah soal pailit, baik dalam bab pailit maupun dimasukkan dalam bab al
Hijr (pengampuan).
2. Ibadah (Hablum Minallah)
Oleh beberapa ulama ibadah mempunyai arti yang sangat banyak. Ada
yang menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan /
dipersembahkan untuk mencapai keridhaan Allah swt dan mengharapkan
imbalan pahala-Nya di akhirat kelak. Menurut ulama Madzhab Hanafi, ibadah adalah perbuatan mukallaf untuk melawan hawa nafsunya dalam rangka mengagungkan Allah swt. Menurut ulama Madzhab Syafi'i,
ibadah ialah perbuatan yang dibebankan oleh Allah swt kepada hamba-Nya
yang tidak selamanya sesuai dengan keinginan yang bersangkutan. Ibnu
Taimiyah menambahkan unsur yang amat penting, yakni kecintaan terhadap
yang disembah sehingga ketundukan dan ketaatan yang merupakan ibadah
haruslah berdasarkan kecintaan terhadap yang disembah.
B. Pengembangan Kajian Kontemporer
Pada
masa awal Islam, terminologi fiqih digunakan untuk satu pemahaman Islam
secara global yang mencakup pengertian asketis dalam bidang tasawuf ,
keyakinan tauhid, hukum peribadatan dan ajaran Islam lainnya. Namun,
dalam perkembangan selanjutnya istilah fiqih tidak lagi bersifat umum,
melainkan khusus pada hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan
manusia.
Dalam
kajian kontemporer terutama persoalan seputar fiqih lebih mengarah
kepada sudut pandang hukum Islam dan berdasarkan kepada berbagai
argumen, dengan harapan dapat meluruskan pemikiran, memperkokoh
metodologi dan mampu merumuskan paradigma baru dalam fiqih. Dengan
begitu, kajian semacam ini akan menjadi acuan para pekerja di lapangan
keislaman dan orang-orang yang terkait dengan mereka. Berangkat dari
kajian ini mereka akan berusaha memilahkan apa yang diprioritaskan hukum
Islam dan mana yang diakhirkan, apa yang ditekankan dan apa yang
diringankan, serta apa yang harus segera dilakukan dan apa yang masih
dapat ditolerir oleh agama. Barangkali disinilah terletak sesuatu yang
sering diabaikan oleh banyak kalangan.
BAB 4
PERIODESASI FIQIH
A. Periode Risalah
Periode
ini dimulai sejak jaman Rasulullah SAW hingga wawatnya Nabi Muhammad
SAW (11 H/632 M). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya
berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah
Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Fiqih mu'amalah pada saat itu identik
dengan syari’at, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah semuanya
terpulangkan kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah.
o Pada
periode Makkah risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju kepada masalah
akidah. Ayat yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu
pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi akidah untuk mengubah
sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah
SWT semata.
o Pada
periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada
masa ini persoalan hukum diturunkan oleh Allah SWT, baik yang menyangkut
masalah ibadah maupun mu’amalah. Oleh karena itu ulama’ fikih meyebut
periode ini sebagai periode revolusi sosial dan politik.
B. Periode Khulafa’urrasyidin
Periode
ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu
Sufyan (41 H/661 M). Sumber fikih pada periode ini dismping Al-Qur’an
dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya beberapa ijtihad
para sahabat. Ijtihad dilakukan ketika hukum persoalan yang akan
ditentukan tidak dijumpai secara jelas dalam nas. Pada masa ini,
khususnya setelah Umar bin Khattab menjadi khalifah, ijtihad sudah
merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang
muncul dalam masyarakat.
Pada
periode ini untuk pertama kalinya para fukaha’ berbenturan dengan
budaya, moral, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu
masyarakat. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam
semakin meluas,dan masing-masing mempunyai kebudayaan sendiri.dalam
menyelesaikan masalah itu, para sahabat pertama kali merujuk pada
Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak didapati mereka kemudian mencari
dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika tidak dijumpai pula, mereka melakukan
ijtihad.
C. Periode Awal Pertumbuhan Fiqih
Masa
ini dimulai pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-3. Periode ini
merupakan awal pertumbuhan fikih sebagai disiplin ilmu dalam Islam.
Dengan bertebarnya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa
khulafa’urrasyidin, muncul berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda
antara satu daerah dan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat daerah tersebut.
D. Periode Keemasan
Periode
ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke -4 H.
periode ini termasuk dalam periode kemajuan Islam pertama. Seperti
periode sebelumnya, cirri khas yang menonjol pada periode ini adalh
semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama’, sehingga berbagai
permasalahan tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran
ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang
ilmu pengetahuan lainnya.
Pada
awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlul hadits dengan
ahlura’yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi
masing-masing aliran. Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah
murid-murid kelompok ahlura’yi berupaya membatasi, mensistemasi, dan
menyusun kaidah rakyu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan
hukum.
Semangat
para fuqaha’ pada periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab
fiqih, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Selain itu
pada periode ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fikih
dan ushul fiqih.
E. Periode Takrir, Takhrij, Dan Tarjih Dalam Mazhab Fiqih.
Periode
ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H.
yang dimaksud takrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan
ulama’ masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas, dan
mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan
melemahnya semangat ijtihad di kalangan ulama’ fiqih. ulama’ fiqih lebih
berpegang kepada ijtihad yang telah dilakukan oleh para imam sehingga
mujtahid mustaqil tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama’ fiqih yang
berijtihad maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang
mereka anut.
Pada
periode ini persaingan pengikut mazhab semakin tajam, sehingga
subyektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam
menyelesaikan suatu persoalan. Sekalipun ada upaya ijtihad pada masa
itu, namun lebih banyak merbentuk tarjih (meguatkan) pendapat yang ada
dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah
semakin banyak buku yang bersifat komentar, penjelas, dan ulasan
terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam kitab masing-masing mazhab.
F. Periode Kemunduran Fiqih
Masa
ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 sampai munculnya Majallah
al-Ahkam al- Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani). Pekembangan
fikih pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fikih yang
main menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah fikih
dikenal dengan periode talkid secara membabi buta.
Pada
masa ini ulama’ fikih lebih banyak memberikan penjelasan terhadap
kandungan kitab fiqih yang telah disusun dalam mazhab masing-masing.
Setiap ulama’ berusaha untuk menyebarkan tulisan yang ada dalam mazhab
mereka. Hal ini menyebabkan semakin melemahnya kretivitas ilmiah secara
mandiri untuk mengatisipasi perkembangan dan tuntutan zaman.
Pada periode ini terdapat tiga hal perkembangan fikih yang menonjol, yaitu:
1. Munculnya
upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan
buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi
dalam berbagai mazhab.
2. Munculnya beberapa produk fiqih sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani.
3. Munculnya gerakan pengkodifikasian hukum Islam sebagai mazhab remi pemerintah di akhir periode.
G. Periode Pengkodifikasian Fiqih
Periode
ini dimulai sejak munculnya Majallah al-Ahkam al- Adliyyah sampai
sekarang. Usaha pengkodifikasian fikih pada masa ini semakin berkembang
luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu
dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan,
perdagangan, dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antar
negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi
sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping
itu, bermunculan juga ulama’ fiqih yang menghendaki terlepasnya
pemikiran ulama’ fiqih dari kritikan mazhab tertentu dan mencanangkan
gerakan ijtihad digairahkan kembali.
Pada periode ini terdapat tiga hal yang mewarnai perkembangan fikih, yaitu:
1. Munculnya upaya pengkodifikasian fikih sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman.
2. Upaya yang dilakukan dalam pengkodifikasian fiqih semakin luas.
3. Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqih yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqih tertentu .
BAB 5
TRANSFORMASI HUKUM FIQIH
A. Proses Transformasi Hukum Fiqih
Perpindahan
transformasi hukum telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad saw.
Hukum yang dikeluarkan disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Setelah
Nabi hukum-hukum itu disebarkan oleh para sahabat Nabi yang ada, baik
itu sebelum Nabi wafat maupun sesudah Nabi wafat hingga masa
Khulafaurrasyidin. Pembinaan hukum pada masa Fiqih sudah menjadi cabang
ilmu pengetahuan. Di dalamnya munculah para Fuqaha yang menjadi tumpuan
taklid keagamaan serta munculnya murid-murid mereka yang menerangkan
pendapat-pendapat mereka dengan tidak adanya kemerdekaan mereka dalam
penisbatan ini. Lalu pembinaan itu semakin kompleks permasalahannya
dengan munculnya buku-buku besar atau karangan-karangan dari para Imam
yang membahas masalah tersebut. Sampai saat ini hukum-hukum Islam itu
masih kita pegang teguh (yang berupa al Quran dan al Hadits) dengan
didukung oleh kemampuan pemikir fiqih kontemporer.
B. Peranan Imam-Imam Mujtahid
Peranan
Imam-imam mujtahid di dalam penentuan hukum Islam sangat penting,
karena pemikiran mereka nantinya akan diikuti oleh umat muslim lainnya.
Apalagi ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya kewajiban
orang Islam, apabila ia sendiri sukar mencapai hukum langsung dari
dalil-dalilnya, ialah bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan,
tetapi tidak mesti ia menganut suatu madzhab tertentu, karena tidak ada
kewajiban kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya,
sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan seseorang untuk
bermadzhab dengan suatu madzhab dari imam-imam itu.
Adapun syarat-syarat mujtahid adalah
1.
Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang al Quran. Ulama sepakat
bahwa seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang
al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya. Misalnya, tentang 'amm (lafal umum), khass (lafal khusus), mutlaq (lafal mutlak), muqayyad (lafal yang terbatas), dan lain-lain.
2.
Memiliki pengetahuan yang baik tentang sunnah Rasulullah saw.
Pengetahuan tersebut harus dimiliki seorang mujtahid karena sunah
merupakan penjelas (al Bayan) dari al Quran dan sumber hukum
Islam kedua setelah al Quran. Pengetahuan itu meliputi segala ilmu yang
berkaitan dengan sunah, yaitu ilmu hadits riwayah, ilmu hadits dirayah,
ilmu jarh wa ta'dil, asbabul wurud dan ilmu lainnya yang terkait.
3.
Mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi ijmak ulama terdahulu.
Seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ijma' serta
persoalan-persoalan yang telah disepakati hukumnya oleh para ulama'.
4. Mengetahui bahasa Arab. Pengetahuan yang baik tentang seluk-beluk bahasa Arab. Seperti di dalam surat Yusuf ayat 2.
اِناَّ أَنْزَلْنَهُ قُرْاَنًاعَرَبِيًالَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ.
5.
Menguasai ilmu ushul fiqih. Seorang mujtahid harus memahami ilmu ushul
fiqih secara baik, karena dalam ilmu itu dapat diketahui kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengistinbatkan hukum syara' dari al Quran dan sunah.
6. Memahami maksud-maksud syara' secara jeli dan baik. Syarat ini diperlukan oleh seorang mujtahid, karena dalam memahami dan
menerapkan hukum-hukum yang dikandung oleh nusus terhadap persoalan
hukum yang dihadapinya harus senantiasa mengacu kepada maksud Allah swt
dalam mensyariatkan hukum.
C. Dampak Perbedaan Pendapat Antar Ulama
Perbedaan yang muncul dari para ulama disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1.
Berbeda pengertian perkataan. Ini merupakan bab yang luas yang terjadi
karena kata-kata yang jarang dipakai, kata-kata yang mempunyai arti
lebih dari satu, adanya pengertian kiasan di samping pengertian hakiki
dan perbedaan urf mengenai arti sesuatu perkatan yang dipakai.
2.
Riwayat (kejadian bahwa ada hadits yang sampai pada sebagian dan tidak
sampai kepada sebagian yang lain atau sampai dengan cara yang tidak
memungkinkanhadits itu dijadikan hujjah, sedang kepada lainnya sampai
dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjadi hujjah; atau
sampai kepada kedua-duanya dari satu jalan, tetapi mereka berbeda
pendapat tentang memberi nilai kepada salah seorang perawi yang
menyampaikan hadits itu.
3. Berlawanan dalil mengenai qaidah-qaidah yang sebagian menerimanya sedang yang lain tidak menerimanya.
4. Berlawanan dan mentarjihkan.
5. Qias.
6. Dalil-dalil yang diperselisihkan tentang boleh tidak memakainya.
Dampak yang ditimbulkan dari perbedaan para ulama ini sangat banyak, diantaranya:
1. Munculnya madzhab dari beberapa para imam
2. Munculnya berbagai aliran-aliran / faham-faham
3. Banyak terjadi perdebatan-perdebatan terutama masalah fiqih
BAB 6
MAZHAB FIQIH
A. Produk Hukum Yang Melatar Belakangi Timbulnya Perbedaan Pendapat
Kita
telah mengetahui bahwa pada permulaan Islam tidak ada mazhab dan tidak
ada sekte-sekte, dan pada awal-awal Islam muncul, Islam bersih dari
pengaruh luar, dan kaum Muslim pada waktu itu mencapai kejayaannya. Juga
diketahui dengan pasti bahwa adanya sekte-sekte dan mazhab-mazhab itu
dapat memecah belah kaum Muslimin, serta dapat memperuncing jurang
pemisah antara mereka, karena dengannya tidak mungkin mereka dapat
menyusun kekuatan dan mengatur langkah bersama untuk merumuskan satu
jalan untuk mencapai satu tujuan. Tetapi bagi musum-musuh Islam dan para
penjajah, justru sebaliknya. Yakni mereka mendapatkan peluang dan
kesempatan yang sangat baik dari adanya perpecahan ini untuk
menyebarluaskan berbagai fitnah. Cara yang dilakukan mereka untuk
memenangkan Barat dari Timur dan untuk menjatuhkan Timur, hanya dengan
cara memecah belah dan hanya menyebarkan isu-isu yang menggebuk bangsa
Timur.
Dari
keterangan itu muncul ide-ide dan pemikiran-pemikiran para pemimpin
yang ikhlas, untuk menyatukan suara dan mengumpulkan jama’ah Islamiyah,
serta berusaha untuk merelisasikan penyatuan suara itu dengan berbagai
cara. Di antaranya adalah dengan membuka pintu ijtihad dan memberantas
penyelewengan dalam mengikuti mazhab tertentu.
B. Biografi Masing-masing Mujtahid.
* Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Imam
Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah Abu Hanifah An-Nukman bin
Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan
kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib. Dilahirkan di Kufah pada
tahun 150 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abdul Malik.
Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an.
Beliau dengan tekun selalu mengulang-ulang bacaannya, sehingga ayat-ayat
suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya. Dalam hal
memperdalam pengetahuannya tentang Al-Qur’an, beliau sempat berguru
kepada Imam Asin, seorang ulama’ terkenal pada masa itu.
Selain
memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqih. Dalam
hal ini kalangan sahabat Rasulullah SAW, diantaranya kepada Anas bin
Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Taufail Amir, dan lainnya. Dari mereka,
beliau juga mendalami ilmu hadits.
Keluarga
Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri semapat
terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau
memutuskan perhatian soal keilmuan. Beliau juga dikenal sebagai seorang
yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, beliau
pernah belajar fiqih kepada ulama’ yang paling terpandang pada masa itu,
yakni Humad bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya.
Setelah wafat gurunya, Imam Hanifah kemudian mulai mengajar dibanyak
majlis ilmu di Kufah.
Tahun
130 H Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan Kufah menuju Makkah. Semasa
hidupnya, beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli
zuhud, sangat tawadhu’ dan
sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik kepada
jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai
hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam
Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767M, pada usia 70 tahun. Beliau
dimakamkan di pekuburan Khizra. Sepeninggalan beliau, ajaran dan ilmunya
tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Kemudian pada
tahun 450 H/1066 Mazhab, didirikan sebuah sekolah yang diberi nama Jami’
Abu Hanifah.
* Imam Malik bin Anas (93-179 H/712-795M)
Imam
Malik bin Anas, pendiri madhab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada
tahun 93 H. beliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah
rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil
itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an.
Pada
mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama’ yang sangat terkenal
pada saat itu. Selain itu beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn
Syihab, selain itu juga mempelajari ilmu fiqih kepada para sahabat.
Karena
ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama’
yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqih. Setelah
kemudian mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imam
Malik mulai mengajar. Meski begitu beliau dikenal sangat berhati-hati
dalam memberi fatwa. Beliay tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti
hadits-hadits Rasulullah SAW, dan bermusyawarah dengan ulama’ lain
sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah.
Imam
Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat, selain itu beliau
dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya
yang memberi kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan.
Imam
Malik adalah seorang ulama’ yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu
hadits dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua
cabang ilmu tersebut. Beliau meninggal dunia paad usia 86 tahun. Namun
demikian, mazhab Maliki ntersebar luas dan dianut dibanyak bagian di
seluruh penjuru dunia.
* Imam Syafi’i (150-204 H/769-820 M)
Imam
Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 Hafshah,
bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.
Meski
dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin,
tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya,
beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama’-ulama’ hadits yang
banyak terdapat di Makkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga
telah hafal Al-Qur’an.
Pada
usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Makkah mempelajari ilmu fiqih
dari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau
kemudian pergi ke Iraq untuk mempelajari ilmu fiqih kepada murid Imam
Abu Hanifah yang masih ada, dalam perantauannya tersebut beliau juga
sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lain.
Setelah
wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan
mengajarkan ilmu di sana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar
tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke
Baghdad. Imam Syafi’i sejak saat itu beliau dikenal lebih luas dan
banyak orang-orang belajar kepada beliau. Dan pada waktu itulah
mazhabnya mulai dikenal.
Tak
lama setelah itu, Imam Syafi’i kembali ke Makkah dan mengajar rombongan
jama’ah haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui jalan ini,
mazhab Syafi’i menjadi tersebar luas ke penjuru dunia. Pada tahun 198 H,
beliau pergi ke negeri Mesir dan mengajar di masjid Amru bin As. Di
Mesir inilah kemudian beliau wafat.
* Imam Ahmad Hambali (164-241 H/780-855 M)
Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahiyrkan di Baghdad pada bulan Rabiul Aeal tahun 164 H (780 M).
Ahmad
bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya. Sejak kecil
beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik
simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau menunjukkan minat
yang besar kepada ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan menghafal
Al-Qur’an, kemudian belajar bahasa Arab, Hadits, sejarah Nabi dan
sejarah sahabat serta para tabi’in.
Untuk
memperdalam ilmu, beliau pergi ke Bashrah untuk beberapa kali,
disanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi’i. Beliau juga pergi menuntu
ilmu ke Yaman dan Mesir. Diantara guru beliau yang lain adalah Yusuf
Al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad
bin Hambal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadits, dan beliau tidak
mengambil hadits, kecuali hadits-hadits yang sudah jelas shahihnya.
Beliau mulai mengajar ketika berusia 40 tahun.
Pada
masa pemerintahan Al-Muktasim – Khalifah Abbasiyah beliau sempat
dipenjara, karena spendapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil.
Imam Ahmad Hambali wafat di Baghdad
pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun 241 H (855 M) pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Wathiq. Sepeniggalan beliau, mazhab Hambali
berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak
penganut.
BAB 7
KAIDAH FIQIH
Deskripsi Bagian Dari Kaidah-Kaidah Fiqih
Amar dan nahi
Pengertian
amar menurut istilah ulama’ ahli fiqih ialah perintah dari atasan
kepada bawahannya (dari Allah SWT kepada manusia), tentang suatu
perbuatan yang harus dilakukan. Dalam hal ini perintahnya telah
tercantum di dalam Alqur’an dan Al-Hadits.
Sedangkan
pengertian nahi ialah perintah meninggalkan suatu perbuatan dari tasan
kepada bawahannya (dari Allah SWT kepada manusia), pada dasarnya nahi
itu menunjukkan kepada hukum haram, tetapi sebagian ulama’ ada yang
berpendapat bahwa nahi pada dasarnya menunjukkan hukum makruh, tetapi
jika ada satu qarinah (keterangan) yang menunjukkan bahwa nahi itu biasa saja untuk menunjukkan selain hukum haram.
Mutlaq dan Muqayyad
Pengertian
mutlaq ialah lafal yang menunjukkan arti sebenarnya dengan tidak
dibatasi oleh sesuatu hal yang lain. Jadi lafal mutlaq ini masih dalam
keadaan yang asli tanpa batasan-batasan dengan sesuatu lafal.
Sedangkan pengertian muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya yang dibatasi oleh sesuatu batasan tertentu.
Mantuq dan Mafhum
Pengertian
mantuq ialah sesuatu hal yang hukumnya diterangkan oleh lafal menurut
bunyi lafal itu sendiri (menurut ucapannya), jadi menurut mantuqnya yang
dimaksudkan adalah menurut apa adanya yang terdapat dalam dalil itu.
Sedangkan
pengertian mafhum ialah suatu hal atau hukum yang diterangkanoleh suatu
lafal tidak menurut bunyi lafal itu sendiri, tetapi menurut pemahaman
atau menurut makna yang terkandung dalam lafal itu.
* Pembagian Mafhum,
Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah
Yaitu
mafhum yang apabila hukum yang tidak disebut dalam lafal itu sesuai
dengan yang disebutkan dalam lafal tersebut (tidak berlawanan).
2. Mafhum Mukhalafah
Yaitu apabila hukum yang tidak disebut lafal itu berlawanan dengan apa yang disebutkan dalam lafal itu.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya;
- Mafhum Shifat , ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu melalui sifat yang terdapat dalam manthuq.
- Mafhum Ghayah, ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu dengan melalui gahayah (balasan)
- Mafhum Syarat, ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu dari hukum manthuq bila yang dibatasi dengan satu surat.
- Mafhum Adad, ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu hukum mantuq yang dibatasi dengan bilangan yang sudah tertentu.
- Mafhum Laqob, ialah
menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu dari hukum mantuq dengan isi
alam (nama orang-orang), isim sofat (yang menunjukkan kualitas atau
aktivitas) dan isim jains (nama untuk materi tertentu).
- Mafhum Hashar, ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu dari hukum mantuq yang di hasharkan (dikhususkan hanya untuknya).
Mujmal dan Mubayyan
Pengertian
mujmal ialah lafal yang belum jelas yang tidak dapat menyebukan arti
sesungguhnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya.
Sedangkan pengertian mubayan ialah suatu pekataan yang terang tanpa memerlukan penjelasan dari yang lainnya.
Muradif dan Musyatarak
Pengertian muradif ialah beberapa lafal yang banyak mempunyai satu arti. Dalam bahasa sehari-hari biasanya disebut sinonim.
Sedangkan
pengertian musyatarak ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti atau
lebih yang sebenarnya arti-arti tersebut berbeda.
Dzahir dan Ta’wil
Pengertian
dzahir ialah dalil yang dapat menerima ta’wil. Suatu dalil yang mungkin
untuk dita’wil atau memerlukan ta’wil agar tidak terdapat salah faham
sehingga arti tadi bisa lebih sesuai.
Sedantgkan
pengertian ta’wil ialah memindahkan suatu perkataan dari makna yang
terang kepada makna yang tidak terang, karena ada suatu dalil yang
menyebabkan makna yang kedua tersebut harus dipakai.
Nasikh dan Mansukh
Pengertian nasikh ialah menghapuskan suatu hukum dengan suatu dalil yang datang kemudian.
Sedangkan pengertian mansukh ialah hukum yang telah dihapuskan.
BAB 8
FIQIH IBADAH
A. Pengertian Dan Hakikat Ibadah
Pengertian ibadah secara etimologi adalah pengabdian, penyembahan, ketaatan, menghinakan/merendahkan diri, doa.
Pengertian
ibadah secara terminologi adalah perbuatan yang dilakukan sebagai usaha
menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai tuhan yang
disembah dengan ketundukan serta kerendahan diri.
Ibadah
berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antaar hati dan
Yang Disembah, kemudian hubungan dan keterkaitan itu meningkat menjadi
kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya, kemudian rasa
rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan. Oleh karena itu, betapa pun
seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan yang
demikian tidak dapat dikatakan sebagai ibadah sekalipun anak dan
bapaknya. Ibadah mencakup semua aktivitas yang diakukan manusia yang
disenangi Allah SWT dan diridhai-Nya, baik yang berupa perkataan maupun
perbuatan, baik bersifat lahiriah maupun batiniah.
Hakikat
ibadah adalah ketundukan atau kepatuhan dan kecintaan yang sempurna
kepada Allah SWT. Ketundukan dan kepatuhan ini akan melahirkan:
1.
Kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT dan
harus mengabdi/menyembah kepada-Nya, sehingga ibadah merupakan tujuan
hidupnya.
2.
Kesadaran bahwa sesudah kehidupan di dunia ini akan ada kehidupan
akhirat sebagai masa untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan perintah
Allah SWT selama ia menjalani kehidupan di dunia.
3.
Kesadaran bahwa dirinya diciptakan Allah SWT bukan sekedar pelengkap
alam semesta, tetapi justru menjadi sentral alam dan segala isinya.
B. Identifikasi Antara Ibadah Mahdah Dan Ghoiru Mahdah
Ibadah mahdah
Adalah
ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah SWT semata-mata, yakni
hubungan vertikal. Ibadah ini hanya terbatas pada ibadah-ibadah khusus.
Ciri-ciri
ibadah mahdah adalah semua ketentuan dan aturan pelaksanaannya telah
ditetapkan secara rinci melalui penjelasan-penjelasan Al-Qur’an dan/atau
hadits. Ibadah mahdah dilakukan semata-mata bertujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Contoh, shalat harus mengikuti petunjuk Rasulullah SAW dan tidak diizinkan menambah atau menguranginya.
Ibadah ghoiru mahdah
Adalah
ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah SWT,
tetapi juga berkaitan dengan hubungan sesama makhluk, disamping hubungan
vertikal juga ada unsur hubungan horizontal.
Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar manusia saja, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungannya
C. Karakteristik/sifat Ibadah
Beberapa sifat yang menjadi karakteristik ibadah adalah sebagai berikut:
Bebas dari perantara.
Untuk
melakukan ibadah kepada Allah SWT, seorang muslim tidak memerlukan
perantara. Seorang muslim dapat dan harus beribadah secara langsung
kepada Allah SWT, tidak dibutuhkan lembaga tertentu untuk menghubungkan
dan menyampaikan ibadahnya kepada Allah SWT. Para
ahli agama hanya berfungsi dan berperan sebagai pengajar dan penunjuk
bagi muslim lainnya dan tidak berwenang untuk menerima dan menolak
ibadah seseorang.
Tidak terikat oleh tempat-tempat khusus.
Secara
umum Islam tidak mengharuskan penganutnya untuk melakukan ibadah pada
tempat-tempat tertentu kecuali ibadah haji. Islam memandang setiap
tempat cukup suci sebagai tempat ibadah. Tidak perduli itu rumah, di
atas kapal yang sedang berlayar, atau pun di dalam masjid yang dibangun
sebagai tempat ibadah.
Pengertiannya bersifat menyeluruh.
Ibadah
dalam islam tidak hanya terbatas pada ucapan atau bacaan dan doa
tertentu, tetapi mencakup berbagai aktivitas duniawi sepanjang dilandasi
dengan niat yang baik dan ikhlas serta mencukupi syarat-syarat.
Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan.
Ibadah
tidak memberatkan dan menyulitkan memeberikan manfaat tersendiri bagi
manusia. Diantarnya agar tidak terjadi pelaksanaan ibadah yang putus di
tengah jalan (berhenti sebelum selesai) karena mengalami kesulitan. Dan
juga agar tidak tejadi pengabaian suatu ibadah yang lain.
BAB 9
FIQIH MU’AMALAH
A. Pengertian Fiqih Mu’amalah.
Fiqih
mu’amalah terdiri atas dua kata, yaitu: fiqh dan mu’amalah. Sedangkan
pengertian fiqih mu’amalah menurut etimologi itu sendiri yaitu kata
mu’amalah, bentuk masdar dari kata ‘amala,yang artinya saling sertindak,
saling berbuat, dan saling beramal.
Fiqih
mu’amalah menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua, fiqih mu’amalah
dalam arti luas dan fiqih mu’amalah dalam arti sempit..
| Fiqih mu’amalah dalam arti luas.
Diantara definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ tentang definisi fiqih mu'amalah adalah:
1. Menurut Ad-Divati,
Antivitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.
2. Menurut Muhammad Musa,
Peraturan-peraturan Allah SWT yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
Dari
dua pengertian menurut pedapat masing-masing ulama’ dapat diketahui
bahwa fiqih mu'amalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT yang telah
ditentukan dan ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan
keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial
kemasyarakatan.
Menurut
pengertian semua ini, manusia kapanpun dan dimanapun harus senantiasa
mengikuti aturan-aturan yang telah di tetapkan Allah SWT. Sekalipun
dalam perkara yang bersifat duniawi. Sebab segala aktivitas, perbuatan
manusia nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.
Dengan
kata lain, di dalam ajaran Agama Islam, tidak ada pemisah antara amal
dunia dengan amal akhirat, oleh karena itu sekecil apapun amal perbuatan
manusia di dunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT.
| Fiqih mu'amalah dalam arti sempit.
Disini terdapat beberapa definisi fiqh mu'amalah menurut beberapa ulama’ adalah;
1. Menurut Hudayri Beik,
Mu'amalah adalah semu akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.
2. Menurut Idris Ahmad
Mu’amalah adalah
aturan Allah SWT yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara
yang paling baik.
3. Menurut Rasyid Ridha
Mu’amalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Jika
dilihat dari ketiga definisi menurut para ulama’ diatas, fiqih
mu'amalah dalam artian sempit menekankan keharusan untuk mentaati
aturan-aturan Allah SWT. Atau atau dapat disebut dengan hubungan kita
kepada Allah SWT (hablumminannas), karena hal tersebut adalah sebagai
jalan untuk menuju (hablumminAllah).
B. Ruang Lingkup Fiqih Mu'amalah
Berdasarkan fiqih mu'amalah di atas, ruang lingkup fiqih mu'amalah terbagi atas dua bagian, yaitu;
b. Fiqih mu'amalah adabiyah,
yaitu tata cara manusia dalam melakukan kegiatan mu’amalah. Hal-hal yang termasuk di dalamnya seperti;
Ijab dan qabul, saling meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari pihak manapun, hak dan kewajiban, kejujuran, dll.
c. Fiqih mu'amalah madiyah,
yaitu
pengaplikasian dari mu’amalah adabiyah atau dapar disebut dengan
kegiatan mu’amalah. Hal-hal yang termasuk di dalamnya seperti;
Jual
beli (al-ba’i al-atijaroh), gadai (rohn), jaminan dan tanggungan
(kafalah dan dhoman), pemindahan hutang (hiwalah), batas bertindak
(al-hajru), perseroan atau pengkongsian (as-syirkah), perseroan harta
dan tenaga (al-mudharobah), sewa menyewa tanah (al-musyaqoh
al-muqorabah), upah (al-ujroh al-amanah), gugatan (asy-sufah), sayembara
(al-ji’alah), pembagian kekayaan
bersama (al-qisman), pembirian (al qibah), pembebasan (al-ibro’),
pembebasan dan juga beberapa masalah mu’assiroh (muhaditsah), seperti
masalah bunga bank, asuransi, kredit, dll.
C. Hubungan Antara Fiqih Mu'amalah Dan Fiqih Lainnya.
Telah
disinggung bahwa para ulama’ fiqih telah mengadakan pembagian atau
pembidangan ilmu fiqih. Namun demikian diantara mereka telah terjadi
pebedaan pendapat pembidangannya.
1. Ada yang membagi menjadi dua bagian, yaitu;
* Ibadah
* Mu’amalah
2. Ada yang membagi menjadi tiga bagian, yaitu;
* Ibadah
* Mu’amalah
* Uqubah (pidana islam)
3. Ada yang membagi menjadi empat bagian, yaitu;
* Ibadah
* Mu’amalah
* Munakahat
* Uqubah
Diantara pembagian di atas, yang lebih banyak disepakati oleh para ulama’ adalah yang
membagi menjadi dua bagian yaitu ibadah dan mu’amalah. Karena fiqih
mu'amalah itu sendiri sudah mencakup bidang-bidang fiqih mu'amalah
lainnya.
Dengan
demikian, fiqih mu'amalah dalam artian luas merupakan bagian dari fiqih
secara umum, di samping fiqih ibadah yang mencakup bidang-bidang fiqih
lainnya seperti fiqih mu’amalah dan fiqih munakahat dalam artian sempit.
BAB 10
FIQIH MUNAKAHAT
A. Pengertian Nikah
Pengertian nikah secara etimologi adalah mengumpulkan, menggabungkan, atau menjodohkan. Nikah juga berarti bersenggama.
Sedangkan
pengertian nikah menurut terminologi adalah akad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta menolong antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Firman Allah SWT QS. An-Nisa' 3
....فاَنْكِحُوْامَاطَابَ
لَكُمْ مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلُثَ وَرُبَعَ فَاِنْ خِفْتُمْ
اَلاَّتَعْدِلُوْافَوْاحِدَةً اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
اَدْنَى اَلاََّتَعُوْلُوْا.
…maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
( An-Nisa’: 3)
B. Rukun dan Syarat Nikah
Rukun nikah
adalah suatu komponen yang harus dipenuhi dalam pernikahan, apabila
suatu pernikahan tidak terpenuhi salah satu rukunya maka pernikahan itu
batal atau tidak sah. Yaitu:
1. Calon suami.
2. Calon istri.
3. Adanya sighat (akad) nikah.
4. Adanya wali calon istri.
5. Adanya saksi.
Syarat nikah adalah syarat yang harus dipenuhi oleh unsur-unsur yang terlibat dalam rukun nikah. Yaitu:
a). Syarat calon suami.
1. Islam.
2. Terang bahwa ia seorang laki-laki
3. Tidak ada yang memaksanya.
4. Tidak dalam keadaan sudah beristri empat orang.
5. Bukan mahram calon istri.
6. Tidak mempunyai istri sepersusuan dengan calon istrinya.
7. Mengetahui bahwa calon istrinya itu bukan perempuan yang haram dinikahi olehnya.
8. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umroh.
b). Syarat calon isti
1. Islam.
2. Terang bahwa ia seorang perempuan.
3. Telah mendapat izin dari walinya.
4. Tidak dalam keadaan bersuami, atau masih dalam iddah.
5. Bukan mahram calon suaminya.
6. Bukan perempuan yang pernah dili’an oleh calon suaminya.
7. Bila ia seorang janda, atas kemauannya sendiri, bukan dipaksa.
8. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umroh.
c). Syarat akad nikah
Akad
nikah terdiri dari ijab dan qabul. Ijab qabul dilakukan oleh wali calon
pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki. Bila wali calon
istri mengucapkan ijab, maka qabul oleh calon suami, dan jika ijab
diucapkan oleh calon suami, maka qabul oleh wali calon istri.
d). Syarat wali calon istri
1. Laki-laki.
2. Islam.
3. Baligh/dewasa.
4. Merdeka.
5. Adil.
6. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umroh.
e). Syarat saksi
1. Sekurang-kurangnya 2 orang saksi laki-laki yang merdeka, adil, baligh/dewasa, berakal.
2. Islam.
3. Dapat melihat dan mendengar.
4. Memahami bahasa yang digunakan dalam akad.
C. Cara dan Bentuk Pernikahan
Melihat calon istri
Adalah
usaha yang dilakukan seorang laki-laki untuk mendekati calon istrinya
sebelum meminangnya, dengan maksud untuk memperkuat maksud dirinya dalam
rencana perjodohan dengan perempuan tersebut.
Dalam
hal ini, bahwa melihat calon istri tidak hanya melihat itu tidak hanya
melihat fisik semata, tetapi dimaksudkan untuk melihat tentang situasi
calon istrinya itu, baik mengenai akhlaknya, maupun hal-hal lainnya,
sehingga tidak terjadi penyesalan setelah pernikahan. Adapun yang
dibenarkan untuk dilihat adalah muka dan telapak tangan. Hal ini sesuai
dengan batas aurat yang boleh nampak bagi perempuan.
Meminang (khitbah)
Adalah
ucapan permintaan dari seorang calon suami kepada calon istrinya yang
telah ia pilih, agar perempuan pilihannya itu mau menjadi istrinya.
Adapun
cara meminang, dari adat kebiasaan masyarakat setempat, dengan tidak
keluar dari garis-garis pokok hukum yang mengesahkan pinangan. Di dalam
meminang itu, yang meminta maupun yang menerima biasanya bukan yang
bersangkutan, tetapi diwakili oleh wali masing-masing.
- Syarat sah pinangan :
1. Perempuan yang dipinang tidak dalam ikatan pernikahan.
2. Tidak dalam masa iddah talaq raj’i.
3. Belum dipinang oleh orang lain.
D. Deskripsi Macam-Macam Pernikaham Yang Terlarang
Sebagaimana
telah diketahui bahwa sahnya suatu pernikahan tergantung kepada
dipenuhinya atau tidak syarat dan rukun nikah itu sendiri. Sementara itu
apabila suatu pernikahan hanya dilihat dari terpenuhi atau tidaknya
unsur-unsur yang terlibat dalam aqad nikah tanpa meneliti tujuan hakiki
dari pernikahan itu sendiri, maka akan terjadi hal-hal yang dapat
menyimpang dari maksud disyari’atkannya pernikahan.
Berikut ini pernikahan terlarang karena bertentangan dengan tujuan pernikahan yang sebenarnya.
a). Nikah mut’ah.
Yaitu
nikah untuk waktu tertentu. Nikah ini dilakukan oleh seorang pria
dengan seorang wanita hanya untuk bersenang-senang dalam waktu terbatas
menurut perjanjian keduanya. Apabila batas waktunya telah berakhir, maka
pernikahan ini putus dengan sendirinya.
b). Nikah syighar.
Yaitu
pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
diikuti dengan penikahan antara bapak perempuan tersebut dengan anak
perempuan laki-laki yang menikah dengan anak perempuannya. Nikah syighar
tidak mempergunakan mahar, oleh karena itu pernikahan ini bertentangan
sekali dengan syari’at.
c). Nikah tahlil.
Pernikahan
yang dilakukan oleh seorang pria dengan maksud agar perempuan yang
dinikahinya itu dapat kembali kepada suami pertama yang telah
menjatuhkan talaq tiga.
d). Nikah antar agama
Yaitu
nikahnya seorang laki-laki muslim dengan perempuan musyrik (bukan ahli
kitab), atau juga nikahnya seorang laki-laki musyrik dengan seorang
perempuan muslim.
BAB 11
FIQIH JINAYAT
A. Pengertian Jinayat
Pengertian jinayat secara etimologi dapat diartikan dengan memetik, memotong, mengambil, dan atau memungut.
Sedangakan
pengertian jinayat secara terminologi adalah pelanggaran yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang dalam mengambil hak Allah SWT,
sesama manusia dan hak makhluk lainnya, yang atas perbuatannya
dikehendaki ada pembalasan seimbang dunia dan akhirat dengan mendapat
hukuman berat dari Allah SWT. Obyek pembahasan yang dikaji meliputi
hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah tindak pidana dan hukumannya.
B. Pembagian Macam dan Bentuk Jinayat
1. Qishash
Pengertian
qishash adalah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan
maupun perusakan anggota badan seseorang, yang dilakukan dengan sengaja.
Syarat-syarat qishash :
1. Pembunuh sudah baliq dan berakal sehat.
2. Pembunuh bukan orang-orang tua dari orang-orang yang dibunuh.
3. Membunuh dengan sengaja.
4. Orang-orang yang dibunuh terpelihara darahnya.
5. Orang-orang yang dibunuh sama derajatnya.
6. Qishash dilakukan dalam hal yang sama(jiwa dengan jiwa, dll).
- Hikmah hukum qishash;
1. Memberikan pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kejahatan terhadap manusia.
2. Manusia akan merasa takut berbuat jahat terhadap orang-orang lain.
3. Qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia.
4. Timbulnya ketertiban, keamanan, dan kedamaian dalam masyarakat.
2. Diyat (denda)
Pengertian
diyat adalah denda sejumlah barang atau uang sebagai pengganti hukum
qishash karena dimaafkan oleh keluarga korban. Diyat dikenakan kepada;
1. Pelaku pembunuhan disengaja yang dimaafkan keluarga korban.
2. Pembunuh yang tidak sengaja.
3. Pembunuh yang mirip disengaja.
4. Pembunuh yang lari sebelum diqishash.
5. Memotong/membuat cacat anggota badan lalu dimaafkan.
- Macam-macam diyat
1. Diyat mugholadzah (berat), yaitu dengan memenuhi kriteria;
- 30 unta betina umur 3 masuk 4 tahun.
- 30 unta betina umur 4 masuk 5 tahun.
- 40 unta betina sedang hamil.
2. Diyat mukaffafah (ringan), yaitu dengan memenuhi kriteria;
- 20 unta betina umur 1 masuk 2 tahun.
- 20 unta betina umur 2 masuk 3 tahun.
- 20 unta jantan umur 2 masuk 3 tahun.
- 20 unta betina umur 3 masuk 4 tahun.
- 20 unta betina umur 4 masuk 5 tahun.
- Hikmah diyat
1. Mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga.
2. Sebagai obat pelipur lara bagi keluarga korban
3. Timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
3. Kifarat
Pengertian
kifarat adalah tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah
ditentukan oleh syari’at Islam karena telah melakukan kesalahan atau
pelanggaran yang diharamkan oleh Allah SWT.
- Macam-macam kifarat
1. Kifarat karena pembunuhan, melakukan perbuatan dengan memerdekakan hamba sahaya atau berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
2.
Kifarat karena melanggar sumpah, melakukan perbuatan dengan memberi
makan 10 orang miskin atau memberi pakaian, memerdekakan 1budak atau
berpuasa selama 3 hari.
4. Hudud (HAD)
Pengertian
hudud adalah sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera atau
dipukul (jilid) atau dengan dilempari batu hingga mati (rajam).
- Perbuatan yang dapat dikenakan hudud
1. Zina, terbagi menjadi dua;
-
Zina muhshan, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang sudah atau
pernah menikah. Hududnya adalah dirajam atau dilempari batu sampai mati.
-
Zina ghairu muhshan, yaitu zina yang oleh orang yang belum pernah
menikah. Hududnya adalah dijilid atau dicambuk 100 kali dan dibuang atau
diasingkan kedaerah lain selama 1 tahun.
2.
Qadzaf (menuduh orang berbuat zina), hududnya adalah didera atau
dijilid sebanyak 80 kali, had hamba sahaya 1 atau 2 had orang merdeka.
- Syarat dikenakannya had:
1. Penuduh sudah baligh, berakal sehat dan bukan orang tua si tertuduh.
2. Orang yang dituduh adalah orang yang terpelihara.
Gugurnya had:
1. Penuduh dapat mengemukakan 4 orang saksi.
2. Dengan li’an.
3. Orang yang dituduh memaafkan.
3. Minum minuman keras, hududnya adalah dijilid atau didera antara 40-80 kali.
4. Mencuri, hududnya adalah:
- Jika mencuri untuk pertama kalinya, maka dipotong tangan kanannya.
- Jika mencuri untuk kedua kalinya, maka dipotong tangan kirinya.
- Jika mencuri untuk ketiga kalinya, maka dipotong tangan kanannya.
- Jika mencuri untuk keempat kalinya, maka dipotong tangan kirinya.
- Jika mencuri untuk kelima kalinya dan seterusnya, maka hukumannya adalah ta’zir dan dipenjara sampai bertaubat.
5. Ta’zir
Pengertian
ta’zir adalah apabila seseorang melakukan kejahatan yang tidak atau
belum memenuhi syarat untuk dihukum atau tidak memenuhi syarat membayar
diyat.
Dalam hal ini hukuman yang tidak ditetapkan hukumannya dalam Al-Qur’an dan hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan.
- Menurut Imam Syafi’I, ta’zir sebanyak 39 kali hukuman cambuk untuk orang merdeka, sedang untuk budak 19 kali.
- Menurut Imam Hanafi, maksimal 75 kali dan bagi hamba 10 kali.
BAB 12
FIQIH SIYASAH
A. Pengertian Siyasah
Pengertian
siyasah secara etimologi adalah ilmu tentang seluk beluk pengaturan
kepentingan umat manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa
hukum, pengaturan, dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan
yang bernafaskan agama Islam untuk mewujudkan kepentingan orang banyak.
Pengertian
siyasah secara terminologi berarti mengurus atau memelihara ketertiban
dan kemashlahatan manusia berdasarkan syari’at Islam.
Fikih
siyasah adalah bagian dari hukum Islam atu lebih dikenal dengan ilmu
tata Negara. Fikih siyasah merupakan keputusan politik, keputusan itu
antara lain berisi ketentuan tentang siapa yang menjadi sumber
kekuasaan, siapa pelaksananya, apa dasar dan bagaimana cara ia
melaksanakan kekuasaan itu, dan kepada siapa kekuasaan itu dipertanggung
jawabkan.
B. Bentuk Dan Macam-Macam Siyasah
Berdasarkan pembagiannya, secara umum fiqih siyasah terdiri dai empat macam, yaitu:
Politik perundang-undangan
Politik
ini mencakup politik penetapan hukum, peradilan, administrasi, dan
pelaksanaan undang-undang atau hukum. Politik perundang-undangan ini
berkaitan dengan peraturan dasar bernegara, bentuk dan batas-batas
kekuasaan, cara pemilihan kepala Negara, kewajiban individu dan
masyarakat serta hubungan antara penguasa dan rakyat.
Politik luar negeri
Politik
ini mencakup diantaranya dalam bentuk hubungan antara Negara Islam
dengan non-Islam, tata cara pergaulan warga Negara muslim dengan
non-muslim di Negara Islam dan hubungan antara Negara Islam dengan
Negara lain dalam keadaan perang dan damai.
Politik moneter atau keuangan
Politik
ini mencakup tentang semua aturan yang mengatur keuangan Negara,
perdagangan, kepentingan orang banyak, sumber-sunber vital Negara, dan
perbankan.
Politik perang seta taktik
Politik
ini mencakup tentang strategi untuk menghadapi perang, termasuk juga
jaminan keamanan terhadap tawanan dan harta rampasan perang serta usaha
untuk menuju perdamaian.
C. Fungsi Dan Tujuan Diterapkannya Hukum
Fungsi diterapkannya hukum
Sulit
dibayangkan apa yang akan terjadi apabila tidak ada siyasah. Segala
aspek kehidupan pasti akan berjalan tanpa aturan, tidak ada hukum,
peraturan politik dan ekonomi menjadi kacau, rasa tanggung jawab sulit
diwujudkan. Dengan demikian maka kemaslahatan umum tidak akan dapat
terpenihi. Keamanan agama, bangsa dan negara terancam dan segala macam
kejahatan akan timbul. Pada akhirnya musnahlah manusia di muka bumi.
Oleh sebab itu umat Islam berkewajiban untuk mewujudkan siyasah dengan
baik sehingga terhindar dari berbagai kerusakan di muka bumi ini.
Siyasah
yang dibangun dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang islami dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan umat, akan besar
hikmahnya bagi nymat islam itu sendiri.
Salah
satu fungsi diterapkannya hukum siyasah adalah adanya upaya
pengendalian dan pemenuhan aspirasi rakyat yang beragama dapat dipadukan
kepentingan yang beragam dapat diakomodasikan sehingga meskipun pada
dasarnya manusia itu nenpunyai karakter yang berbeda, akan tetapi atas
nama negara mereka dapat dipersatukan untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan dengan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.
Tujuan diterapkannya hukum
Secara
umum tujuan siyasah adalah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang
adil dan makmur, secara lahir dan batin serta memperoleh ampunan dari
ridha Allah SWT.
Secara khusus tujuan siyasah adalah sebagai berikut:
1. Melanjutkan kepemimpinan agama Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat (bukan pengganti sebagai Nabi).
2. Berupaya untuk memelihara keamanan dan ketahanan agama dan negara.
3. Mengupayakan kesejahteraan lahir dan batin dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
4. Mewujudkan dasar-dasar siyasah yang adil dalam seluruh aspek kehidupan umat Islam.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb