Halaman

Wednesday, August 8, 2018

Zuhud Dunia, Maka Engkau akan disenangi ALLAH SWT dan Manusia



Pendahuluan.
 
        Pentingnya penghayatan spiritual dalam kehidupan, tak bisa dipungkiri. Ini lebih-lebih bila disadari bahwa dunia kemanusiaan saat ini makin sarat dengan kekerasan dibawah paying kapitalisme yang sekuler dan hedonistic. Namun yang harus tetap diingat adalah, bahwa Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa dunia ini adalah riil, namun maya. Berapa ayat berulang kali menegaskan agar manusia selalu beriman kepada Allah, hari akhir, dan amal sholeh. Ketiga hal tersebut merupakan isyarat sekaligus formulasi yang menyatukan dimensi kehidupan spiritual yang mengarah pada relitas transendental – dan aktufitas kongkrit dalam sejarah. Berangkat dari hal tersebut maka formula yang tepat untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan ahirat adalah dengan berlaku Zuhud.

        zuhud adalah satu sifat yang amat baik dan terpuji di dalam Islam, bagaimanapun saya mendapati terdapat salah faham masyarakat Islam dalam memahami artinya, sehingga ia ditakrifkan  sebagai menjauhkan diri dari dunia dan membiarkan diri miskin. Ada juga yang mengganggap zuhud tidak menggunakan harta yang diperolehi untuk diri, dan keluarga.
Demikian juga firman Allah SWT :-
        
16.  Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.
17.  Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. ( Al A’ la : 16.17).
 ( Al-Qiyamah : 20 & 21 )


Pokok bahasan
Pengertian Zuhud
       Zuhud menurut kamus besar Bahasa Indonesia diartikan tapa , atau pertapaan ( kamus besar Bahasa Indonesia , W.J.S Purwodarminto ). maka pantaslah kalau zuhud adalah rasa atau sifat meninggal kan dunia .
       Zuhud adalah mengurangkan angan-angan, mensyukuri nikmat, dan menjauhi larangan. Apabila hal ini mungkin maka (sekurang-kurangnya) larangan-larangan itu tak akan menaklukkan kesabaran. Kenikmatan jangan melupakan syukur. Allah telah menyempurnakan dalih-dalih di hadapan melalui argumen-argumen yang terang, bercahaya, dan kitab-kitab terbuka dan cerah.
       Sesungguh nya Zuhud yang hakiki kurang adanya semangat untuk memperoleh harta benda dunia di hati seseorang lantaran ingin mencari ridlo Allah  dan keagungan pahala nya. sebagai pemula untuk jalan menuju zuhud adalah tidak mencari harta yang hilang . sedangkan yang kedua adalah membagi –bagikan harta yang sudah terkumpul kepada orang – orang fakir , tidak berkehendak terhadap harta bendanya dan tidak ingin memilih nya.bila seseorang telah menjalan kan penjelasan tersebut maka akan menumbuhkan zahid yang hakiki. Kemudian motivator yang mendorong kita agar tidak mencari barang yang hilang  dan mau membagi –bagikan harta yang sudah terkumpul ditangan kita adlah kita senantiasa mengingat terhadap kejelekan dan akibat jahat dari harta benda.
       Sebagain ahli tasawuf berkata : “ aku tinggalkan harta benda , lantaran kurang bisa membikin ketengan di hati , banyak membutuhkan tenaga yang tercurah sehingga tubuh menjadi penat dan cepat sirna , dan kehinaan orang yang berkecimpung tentang keduniaan .”
       Imam Ghozali pernah berpendapat memberikan pendapat yang extrim tentang zuhud sebagaimana dikatakan oleh guru nya Abu Bakar Attusi berkata : “ sesungguh nya dunia adalah musuh Allah yang maha mulia dan maha agung , sedang engkau cinta kepada nya. “oleh karena itu barangsiapa yang cinta kepada seseorang berarti harus memusuhi musuh nya. Semoga Allah menjadikan kita orang yang benci kepada keduniaan dan cinta kepada aherat.(Irsyadul Ibad , 318 ) 


        Ketika kita telah mengetahui cara dan jalan tidak mempedulikan dunia adalah memperkuat sifat zuhud pada diri manusia, maka silahkan Anda perhatikan khutbah Imam Ali as yang telah kita nukil di atas bahwa khutbah tersebut memperkenalkan metode menemukan jalan menuju kezuhudan dan menyatakan bahwa supaya Anda menjadi orang zahid dan menciptakan karakter Ilahi ini pada diri dan terkadang Anda perkuat, maka Anda harus menjaga tiga hal berikut ini:
1-     Kurangilah angan-angan
2-     Syukurilah nikmat-nikmat Allah swt
3-     Jauhilah dosa-dosa.
Penjelasannya
Pertama, tidak memiliki angan-angan panjang dan jauh maka ia tidak lagi memiliki keinginan banyak untuk tinggal di dunia ini pada masa-masa yang lama untuk mencapai angan-angannya, maka dari sisi ini ia tidak begitu mempedulikan dunia.

        Kedua, orang yang merasa cukup terhadap apa yang diberikan oleh Allah swt kepadanya dan mensyukurinya serta tidak terdapat kesedihan sekecil apa pun dibenaknya karena tidak memiliki lebih banyak lagi darinya maka ia tidak akan memiliki sebuah kecenderungan terhadap harta benda dan perhiasan-perhiasan dunia sehingga mencintai dan bergantung kepadanya. Oleh karena itu, ia merasa gembira berada dalam kenyamanan dalam ketidakpedulian sepenuhnya kepada dunia.

         ketiga, manusia yang memiliki ketakwaan sedemikian rupa dan menjaga diri sehingga tidak ingin melakukan kemaksiatan kepada Allah swt bahkan dalam kesendirian dan kesunyian sekali pun, tidak akan pernah berkeinginan menambah harta benda dan hal-hal materi dari jalan haram, namun ia merasa cukup (qana’ah) dengan hal yang sedikit dan tidak mengizinkan dirinya sendiri untuk menimbun harta benda dan kekayaan bersamaan dengan melakukan maksiat dan dosa; oleh karena itu, pribadi seperti ini merasa nyaman dan perwujudan nyata manusia yang tidak mempedulikan dan menginginkan dunia serta bersiap-siap untuk akherat, karena ia meyakini kehendak Allah swt sebagai lebih penting dari dunia dan seisinya.

        Beliau juga mengatakan bila Anda tidak mampu menanamkan ketiga sifat ini maka berusahalah memiliki dua yang terakhir yaitu mensyukuri nikmat-nikmat dan tidak melakukan perbuatan haram, karena Allah swt telah menyempurnakan hujjah atas manusia dan tidak menerima alasan, telah menjelaskan segalanya dengan kitab-Nya dan tidak lagi akan mengabulkan alasan.

       Kita berharap semoga Allah swt menjadikan kita semua dari orang-orang yang bertakwa dan zahid, mengurangi angan-angan panjang, mensyukuri kenikmatan-kenikmatan-Nya dan menjauhi hal-hal yang diharamkan dan kemaksiatan terhadap-Nya sehingga menerima hal yang sedikit dari dunia (qana’ah), tidak mempedulikan dan bergantung kepada keseluruhan dunia dan lebih banyak memikirkan dunia untuk akherat dan hari-hari yang sulit ke depan.
A.    Tingkatan Zuhud
Hakikat zuhud ialah menyingkirkan apa apa yang semestinya disenangi dan diingini oleh hati, kerana yakin ada sesuatu yang lebih baik untuk meraih darjat yang tinggi di sisi ALLAH. Syeikh Abdul Samad Al Palimbani mengatakan bahawa ada rukun kezuhudan. Yaitu :

1.Meninggalkan sesuatu kerana menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi
2. Meninggalkan keduniaan kerana mengharapkan akhirat.
3. Meninggalkan segala sesuatu selain ALLAH kerana mencintaiNYA.

Sebagai contoh untuk zuhud tingkat ini, ada satu kisah seorang sahabat Nabi ternama,Haritsah. Nabi SAW bertanya “Bagaimana kamu hari ini, wahai Haritsah?”

Dia menjawab,”Aku sungguh beriman, ya rasulullah.”

“Apa buktinya?” tanya Nabi. Dia menjawab,”Aku telah memalingkan jiwaku dari dunia ini. Itulah sebabnya di siang hari aku haus dan di malam hari kau terjaga, dan rasa rasanya aku melihat Arasy Tuhanku menghampiriku, dan para penghuni syurga sedang bersuka ria dan para penghuni neraka sedang menangis.” Nabi SAW bersabda,” itulah seorang mukmin yang hatinya telah dibukakan ALLAH. Kau telah tahu Haritsah, maka camkanlah.”

        Imam Ahmad Ibnu Hambal mengklasifikasikan tingkatan zuhud yakni
 
1. Zuhudnya orang orang awam ialah meninggalkan hal hal yang haram
2. Zuhud orang orang yang khawas (khusus) iaitu meninggalkan hal yang berlebih        lebihan (al fudhul) meskipun barang halal.
3. Zuhud orang Arif iaitu meninggalkan segala sesuatu yang dapat memalingkan daripada mengingati ALLAH.  Al Imam Ghazali pula membahagikan zuhud kepada tiga peringkat yakni :

1. Tingkat terendah ialah menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman di akhirat
2. Tingkat kedua ialah mereka yang menjauhi dunia kerana ingin mendapatkan imbalan di akhirat
3. Tingkat tertinggi ialah zuhud yang ditempuh bukan lagi kerana takut atau harap, tetapi semata mata kerana cinta kepada ALLAH Ta’ala.

   B.Pandangan zuhud  (menurut Ibnu hajar)
       Imam Ibn Hajar berkata seseorang itu memakai pakaian bersih yang layak dengan kedudukannya agar jika terdapat orang yang ingin meminta bantuan, maka boleh dikenali siapa yang boleh memberikannya. Pada masa yang sama mestilah ia menjaga niatnya dan menjauhi pembaziran. Demikian juga yang disebutkan di dalam kitab Tuhfatul Ahwazi  (Rujuk Fath Al-Bari,  10/260 ; Tuhfatul Ahwazi, 6/122)
      Islam tidak melarang sama sekali kita untuk menjadi kaya dan menggunakan peralatan, kemudahan dan pakaian yang layak dengan pendapatan kita. Malah ia amat digalakkan untuk menjadi kaya dengan cara yang halal, kerana dengan itu zakat dapat dikeluarkan bagi membantu umat Islam yang tidak berkemampuan.
Harta hanya akan menjadi tercela bila ia membawa kepada kelalaian dan pengabaian yang wajib di sisi Allah : Inilah yang disebutkan oleh salah seorang ulama tabien yang terhebat iaitu Said Ibn Jubair yaitu

متاع الغرور ما يلهيك عن طلب الآخرة , وما لم يلهك فليس بمتاع الغرور ولكنه متاع بلاغ إلى ما هو خير منه
Artinya : Harta yang menipu adalah apa-apa yang melalaikanmu dari mencari akhirat, dan apa sahaja yang tidak melalaikanmu dari akhirat bukanlah dari jenis harta atau kerja yang melalaikan tetapi ia dianggap harta yang boleh menyampaikan kamu kepada apa yang lebih baik (akhirat)" ( Jami' al-Ulum wal Hikam: 360)

B.    Takrif Zuhud di sisi Ulama
       Para ulama silam juga pernah membetulkan salah faham tentang pengertian zuhud ini. Lihatlah pengertian zuhud yang disebut oleh mereka :-
Imam Ibn Juzai berkata :-
ليس الزهذ بترك الحلال  , ولا إضاعة المال فقد يكون الغني زاهدا , إذا كان قلبه مفرغاً عن الدنيا , وقد يكون الفقير دنيويا إذا اشتدّ حرصه , وكان معمور القلب بالدنيا
Artinya : Bukanlah zuhud itu dengan meninggalkan ( pendapatan dan harta) yang halal, bukan juga membuang harta, kemungkinan seorang yang kaya itu bersifat zuhud apabila hatinya kosong dari dunia (tidak mengharapkan sesuatu dari dunia dan kekayaannya untuk dunia), dan berkemungkinan orang faqir itu adalah orang yang bersifat duniawi apabila hatinya amat berkehendakan dunia, tatkala itu hatinya segar dengan ikatan kepada dunia ( Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah:471 )

Imam Sufyan bin ‘Uyainah ditanya berkenaan zuhud lalu beliau menjawabnya :-
إن نقصت لم يغنم وإن زادت لم يفرح ولا يكره الموت لفراقها
Artinya : Sekiranya sesuatu harta itu hilang atau kurang sesorang itu tidak terlalu bersedih dan tatkala ia bertambah ia tidak pula gembira, dan ia tidaklah merasa bencikan mati kerana tidak mahu berpisah dengan hartanya " ( Jami' Al-ulum wal Hikam: 256 )

Imam Al-Qarafi pula berkata :

ليس الزهد عدم ذات اليد , بل عدم احتفال القلب بالدنيا , وإن كانت في ملكه
Artinya : Bukanlah zuhud itu tidak mempunyai sesuatu di dalam tangan, tetapi ia adalah tidak bergembiranya hati dengan dunia ( perolehan dunia) walaupun ia jatuh ke dalam miliknya" ( Az-Zakhirah, Al-Qarafi )

Dalam riwayat yang lain disebutkan : “Akan tetapi aku khawatir kalian akan besaing memperebutkan dunia. Kalian akan berbunuhan dan akhirnya kalian binasa seperti orang-orang sebelulm kalian”, ujar Baginda Rasulullah Shalllahu alaihi wassalam. Uqbah bin Umair meriwayatkan ketika, belaiu melihat terakhir Rasulullah, dan berkata : “Aku adalah pendahulu kalian. Aku saksi kalian. Demi Allah, aku sekarang melihat telagaku. Aku diberi kunci gudang-gudang bumi atau kunci-kunci bumi. Dan demi Allah, aku tidak khawatir kalian akan syirik setelah aku mati, tetapi aku khawatir kalian akan bersaing memperebutkan dunia”

Sesungguhnya, dengan kalimat itu Rasulullah ingin memperingatkan kita untuk tidak besaing dalam mencintai dunia dengan cara yang menjadikan kita lalai untuk mengingat Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya.
                  
9.  Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.(al-Munafiqun : 9).

Selanjutnya, Abu Hurairah menuturkan bahwa ia mendengar Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, bersabda : “ Ketahuilah, dunia itu terlaknat dan terlaknat pula seluruh yang ada di dunia, kecuali dzikir kepada Allah dan apa yang mengikutinya, serta seorang ulama atau pelajar”. (HR.Tirmidzi).
Maka, jika kita ingin memahami dunia dan hakikat dunia, cukuplah kita membaca firman Allah Ta’ala dalam Surah Yunus ayat 24 :

              ••  •     •   •                    
24.  Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya Karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu Telah Sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya[683], dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya[684], tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir. ( Surah Yunus 24 ).

       Semoga manusia mau menyadari bahwa apa yang ada di dunia ini, semua fana, dan akan lenyap, tanpa bersisa. Kejarlah dunia, hingga nafasmu habis, dan tenagamu tak bersisa, niscaya manusia tak pernah mendapatkan kepuasan dengannya. Manusia yang lalai dengan dunia, maka diakhirat kelak, tentu akan menjadi hina. Tak mampu lagi berdiri tegak dihadapan Allah Azza Wa Jalla. Dan, segeralah manusia memohon ampun dan tobat serta kembalilah kepada mengingat Allah, yang maha kekal, selama-lamanya, dan yang maha hidup, tak pernah tidur, serta senantiasa akan menjaga hamba-hambanya yang selalu mengingat-Nya.

        Dengan hikmah diatas, Ibnu 'Athoillah memberikan penjelasan bahwa ber'uzlah kegua-gua, dan meninggalkan keindahan-keindahan dunia tidaklah menjadi jalan utama untuk beribadah dan berzuhud yang dimaksud oleh syara'. Bahkan itu semua akan berdampak pada hancurnya bumi ini, tidak terwujudnya bumi yang subur, bangunan -bangunan rumah dan lain-lain. Dan yang paling bahaya adalah akan dikuasainya dunia ini oleh musuh-musuh Allah (orang-orang kafir), dan ini semua sangat bertentangan dengan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

                           •    
61.  Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[726], Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."

[726]  Maksudnya: manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia.

C.    Metode untuk menyeimbangkan keduawian
Menanggapi pertanyaan di atas Ibnu Athoilah menjawab :

" إنما يأسرك من الدنيا تعلقك بها لا تعاملك معها, والمطلوب منك أن تتعامل معها لا أن تتعلق

"Sesungguhnya yang bisa membui kamu adalah ketergantungan anda kepada dunia bukan interaksi (hubungan) kamu dengan dunia, dan yang menjadi tuntutan bagimu adalah supaya kamu berhubungan dengan dunia namun tidak bergantung kepadanya."

        Metodenya tidak lain adalah dengan menjalankan factor-faktor yang bisa mengantarkan dan membuahkan mahabbah kepada Allah (محبة الله). Adapun sebab yang paling pokok adalah dengan memperbanyak dzikir kepada Allah dan muroqobah kepada-Nya serta ingat terus kepada Dzat yang memberikan anugerah nikmat-Nya kepada kita. Apabila metode ini diistiqomahkan maka akan sangat mudah untuk membuahkan nilai mahabbah yang hakiki kepada Allah. Ketahuilah bahwa mahabbah kepada Allah itu sudah menjadi fitroh yang terpendam pada diri hamba-hamba Allah, akan tetapi fitroh ini terhijab dengan adanya nafsu/sahwat yang selalu mengarahkan kepada kejelekan, akan tetapi dengan melanggengkan dzikrullah akan tersingkaplah Mahabbah Robbaniyah (المحبة الربانية) .

        Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah kalau kita sudah cinta kepada Allah apakah kita tidak di perbolehkan cinta kepada yang lainnya seperti halnya orang tua mencintai anaknya, suami mencintai istrinya, seorang muslim cinta kepada saudaranya ? Jawabannya adalah sesungguhnya orang yang hatinya diliputi rasa cinta kepada Allah, maka tidak akan mungkin mencintai selain-Nya, adapun mencintai selain Allah harus kita dasari cinta karena Allah (الحب في لله), sedangkan mencintai selain-Nya dengan tidak didasari karena Allah adalah salah satu bentuk dari syirik (الحب مع لله).

        Allah (الحب في لله) merupakan buah dari tauhid. Orang yang hatinya di penuhi mahabbah kepada Allah, ia tidak memandang kepada sesuatu kecuali sesuatu tersebut mampu menjadikannya selalu ingat kepada Allah, tidak hanya mengambil kenikmatan saja, namun dia mampu berinteraksi dengan dunia yang disertai penuhnya rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

        Sesungguhnya mahabbah kepada Allah bisa menjadikan orang tersebut tidak melihat sesuatu kecuali hanya menyaksikan sifat-sifat Allah yang indah serta rahmat-Nya yang luas. Dan maqom (derajat) ini hanyalah bisa dirasakan oleh yang selalu istiqomah dalam dzikir dan muroqobah (mendekatkan diri) kepada Allah, derajat ini juga bisa disebut : WAHDATUS SYUHUD (وحدة الشهود) , melihat apapun bisa mengantarkannya ingat kepada Allah Subhanahu wa ta'ala .

         Orang yang senang ber'uzlah untuk mengaplikasikan sifat zuhudnya belum bisa dikatakan sempurna derajatnya, karena kebanyakan orang-orang yang ber'uzlah menjadikan uzlah tersebut sebagai obat dari berbagai macam penyakit hati, dan supaya terhindar dari gemerlapnya dunia yang bisa melupakannya dari Allah.

        Perlu diketahui bahwa orang-orang yang soleh atau orang yang ahli ketuhanan yang hakiki bukanlah orang yang tidak mempunyai bagian dari substansi dari kholwat ini. Akan tetapi Ibnu Athoilah menerangkan bahwa mereka juga mengaplikasikan tauhidnya dengan tanpa meninggalkan aktifitasnya untuk berhubungan dengan manusia dan membangun kehidupan sosial kemasyarakatan yang diperintah oleh Allah.

        Cobalah kita merujuk kepada khulafaurrosidin yang mana kiprahnya sayyadina Abu Bakar dalam mengatur perekonimian sosial dalam pasar dan juga kiprahnya sayyadina Umar Bin Khottob yang mahir dalam bidang keinsinyuran dalam pembangunan Kufah serta mendirikan Diiwanul 'Atho. Walaupun berkecimpung dalam urusan umat namun nilai keibadahan dan kezuhutannya tidak tertandingi dan tidak berkurang sedikitpun. Maqom seperti inilah yang dimakudkan oleh Ibnu 'Athoillah.

       Ibarat Ibnu 'Athoillah diatas bukanlah bermaksud menghina orang-orang yang senang ber'uzlah (mengasingkan diri) dari gemerlapnya duniawi dan jauh dari manusia dengan tujuan ibadah dan mempraktekkan zuhudnya mereka, beliau hanyalah menjelaskan bahwa orang yang berhubungan (berinteraksi) dengan manusia dan gemerlapnya dunia, keindahan-keindahannya serta kebaikan -kebaikan yang berada didepannya namun tidak menjadikan mereka lupa kepada Allah Subahanahu wa ta'ala justru malah tambah ingat dan dekat kepada Allah, itu lebih utama dan tinggi derajatnya dari pada orang yang apabila berhubungan dengan urusan duniawi maka ia menjadi terhijab dari Allah.

        Zuhud bukanlah mengosongkan saku kita dari uang, membuang harta benda dan menjauhi dunia, akan tetapi zuhud adalah membersihkan hati dari ketergantungan dan perhatian qolbu kepada dunia, dan cukuplah seorang yang zahid bertendensi dengan Rohmat Allah Subhanahu Wa Ta 'Ala

"Arti dari zuhud bukanlah mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta benda, akan tetapi zuhud adalah apa yang berada disisi Allah itu lebih penting dari apa yang berada disampingmu "

         Akan tetapi ketika ada seorang muslim yang hidupnya selalu bergantung dan perhatian kepada dunia, maka tidaklah salah kalau ia ber'uzlah dalam rangka mengobati penyakit tersebut dan mencari nilai kezuhudan yang mengandung makna kosongnya hati dari kesibukan dunia, Wallahu a'lam.

KESIMPULANNYA
          Diharuskan mencari harta sebanyak-banyaknya dengan syarat ia tidak melalaikan dari akhirat. Melalaikan akhirat adalah dengan tidak mengendahkan hukum Islam dan mengambil ringan tentangnya. Fokus utama mereka hanyalah memperolehi keuntungan dan menebalkan poket sahaja. Halal haram diletakkan sebagai hal kedua. Justeru, fahamilah konsep sebenar dalam pencarian harta, fahamilah pandangan Islam dalam semua instrumen mendapatkan harta, tidak dinafikan terlalu banyak cara dan instrumen baru serta canggih diperkenalkan tapi awas, tidak semuanya membawa kebahagiaan di akhirat kelak.   

Bersifat zuhud bukanlah bermaksud membiarkan diri miskin, tidak berusaha, berpakaian dan berkenderaan lusuh dalam keadaan berharta dan mampu. Justeru, amat diharapkan umat Islam tidak menjadikan zuhud sebagai alasan ketidakmajuan mereka.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Farabi, Abu Nasrh Muhammad. t.t. Kitab al-Musiqa al-Kabir. Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabiyah.
Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad. 1962. Tahafut al- Falsafah. Bairut: al-Mathba’ al-Kathulikiyah.
    , 1991. Ihya’ ‘ulum al-Din. Bairut: Dar al-Fakir.
Al Hanbali, Abu al-Falah ‘abd al-Hayi bin ‘Imad.350. Syadzarat al-Dzahab Fi Akhbar Man Dzahab. Kairo:t.p.
Ahmad Warsun Munawir. Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. PP. Al Munawwir. Yogyakarta, 1984.
Al Faruqi, Isma’il Raji. Tauhid. Terj. Rahmani Astuti, Pustaka, Bandung, 1988.
Hastings, James (ed.).t.t. Encyclopedia of Religion and Ethics. New York : Charles scibner’s Sons.
Nasr, Tasawuf Dulu dan sekarang. Terj. Abdul Hadi W.M. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985.
Nasution, Harun dkk.1987. Ensikopedi Islam. Jakarta : Depag RI
    . 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta ; P.T. Djambatan.
http://cahayamukmin.blogspot.com/2009/03/tingkatan-zuhud_03.html