Halaman

Friday, August 2, 2013

HAKIKAT FIQIH


Bismillahirrohmaanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

 BAB 1
HAKIKAT FIQIH
A. Pengertian Fiqih Dan Ushul Fiqih
Pengertian fiqih secara etimologi adalah mengerti, faham. Sedangkan definisi fiqih secara terminologi, ialah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at atau hukum Islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.
Pengertian ushul fiqih secara etimologi adalah akar, dasar. Sedangkan definisi ushul fiqih secara terminologi, ialah kaidah-kaidah yang digunkan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum).
Dalil-dalil yang dimaksud ialah undang-undang (kaidah-kaidah) yang ditimbukan dari bahasa. Maka dengan uraian di atas dapat difahami bahwa yang dikehendaki dengan ushul fiqih adalah dalil-dalinya yaitu seperti Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
Dalam membahas ta’rif ushul fiqih terdapat dua pengertian dan dimaksud yang terkandung di dalam perkataan ushul fiqih.
Pertama, merupakan suatu rangkaian lafaz yang terterambil dari kalimat ushul fiqih dan kalimat fiqih.
Kedua, perkataan ushul fiqih merupakan bagian suatu cabang atau disiplin ilmu pengetahuan.
B. Perbedaan Pengertian Antara Fiqih Dan Ushul Fiqih
Pengertian Fiqih
Kata fiqih berasal dari kata fakiha-yafqahu-fiqhan, yang berarti mengerti atau faham. Ilmu Fiqih ialah suatu yang mempelajari syari’at yang bersifat amaliyah (perbuatan) yang diperoleh dari dalil-dalil hukum yang terinci dari ilmu tersebut.
Menurut para fuqaha’ (faqih), fiqih merupakan pengertian zhanni (sangkaan/dugaan) tentang hukum syari’at yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Pengertian mana yang dibenarkan oleh dalil-dalil hukum syari’at tersebut terkenal dengan ilmu fiqih.
Beberapa ulama’ mendeskripsikan ilmu fiqih sebagai berikut;
* Prof. Dr. TM Hasbi ash Shidieqy.
“Fiqih merupakan suatu kumpulan ilmu yang sangat besar pembahasannya, yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam dan bermacam aturan hidup, untuk keperluan seseorang, golongan dan masyarakat umum.
Jadi secara umum ilmu fiqih itu dapat disimpulkan bahwa jangkauan fiqih sangat luas, yaitu membahas masalah-masalah hukum Islam dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan kehidupan manusia.”
* Ust. Abdul Hamid Hakim.
- “Fiqih menurut bahasa adalah faham, maka tahu aku akan perkataan engkau, artinya faham aku”.
- “Fiqih menurut istilah ialah mengetahui hukum-hukum agama Islam dengan cara atau jalannya ijtihad”.
Pengertian Ushul Fiqih
Sebagaimana diketahui, kata ushul adalah akar, atau juga dapat diartikan dengan dasar dalam arti tamtsilan. Jika fiqih adalah paham mengenai sesuatu sebagai hasil dari kesimpulan pikiran manusia, maka Ushul Fiqih adalah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.
Beberapa pakar ilmu fiqih mendeskripsikan ushul fiqih sebagai berikut.
* Abdul Wahab Khalaf
“Ushul fiqih adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara’ yang amaliyah dari dalil-dalilnya secara rinci. Atau kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan yang merupakan cara untuk menemukan (mengambil) hukum syara’ yang amaliyahnya dari dalil-dalilnya secara rinci.”
* A. Hanafie
- “Ushul ialah sumber atau dalil. Fiqih ialah mengetahui hukum-hukum syara’ tentang perbuatan seorang mukallaf , seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan lain-lain. Orang-orang yang mengetahui hukum-hukum itu disebut faqih. Hukum-hukum tersebut ada sumbernya (dalilnya), yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Jadi yang dimaksud dengan ushul fiqih adalah sumber (dalil-dalil) tersebut dan bagaimana caranya menunjukkan dalil-dalil tersebut kepada sesuatu hukum dengan cara ijmal (garis besar).”
Dengan demikian telah dapat difahami bersama berdasarkan ta’rif atau definisi-definisi yang telah dijelaskan diatas tentang pengertian-pengertian serta perbedaan-perbedaan antara fiqih dan ushul fiqih.secara meluas dan mendalam.
BAB 2
FIQIH DAN KEGUNAANNYA
A. Kedudukan Fiqih Sebagai Sumber Hukum Setelah Al-Qur’an Dan Hadits
Sebagaimana telah diketahui bahwa Al-Qur’an menempati kedudukan pertama dari sumber hukum yang lain dan merupakan aturan dan dasar tertinggi. Semua sumber hukum maupun norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an. Dalam hal ini fiqih menempati urutan ke tiga sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sejak setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, persoalan hukum yang tidak dijumpai dalam nas, membuat lahirnya hukum (ijtihad) para sahabat. Dalam hal melakukan ijtihad untuk memecahkan pesoalan ini para sahabat terlebih dahulu melihat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, para sahabat kemudian merujuk pada sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Nabi SAW tersebut tidak dijumpai pula hukum yang dicari, para sahabat kemudian melakukan ijtihad.
Sumber hukum fiqih yang dimaksud adalah landasan yang digunakan untuk memperoleh hukum fiqih. para ulama’ berpendapat tentang kedudukan fiqih sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan menjadikan hukum fiqih sebagai pegangan dalam menentukan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Dalil yang dijadikan para ulama’ untuk dijadikan alasan antar lain ialah;
Firman Allah SWT, QS. Yunus ayat 36
وَمَايَتَبِعُ اَكْثَرُهُمْ اِلاَّضَنًّا اِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْأً ِانَّ الله َعَلِيْمٌ بِمَايَفْعَلُوْنَ.
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
B. Kegunaan Ilmu Fiqih
Fiqih dalam Islam sangat penting fungsinya karena ia menuntun manusia kepada kebaikan dan bertakwa kepada Allah SWT. Setiap saat manusia itu mencari atau mempelajari keutamaan fiqih, karena fiqih menunjukkan kita kepada sunnah Rasulullah SAW serta memelihara manusia dari bahaya-bahaya kehidupan.
Beberapa diantara kegunaan ilmu fiqih adalah :
1. Untuk mencari kebiasaan faham dan mengerti pengertian dari agama Islam.
2. Untuk mempelajari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
3. Sebagai kaum muslimin kita harus bertafaqquh, artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agamabaik dalam bidang aqidah dan akhlak maupun dalam bidang ibadah maupun mu’amalat.
Jelasnya, tujuan mempelajari ilmu fiqih adalah menerapkan hukum syara’ pada setiap perkataan dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan-ketentuan fiqih yang dipergunakan untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi dasar fatwa. Seorang yang mengetahui dan mengamalkan fiqih akan dapat menjaga diri dari kecemaran dan lebih takut dan disegani oleh musuhnya.
C. Fungi Ijtihad
Fungsi ijtihad pada umunya adalah untuk mengetahui atau mendapatkan hukum syara’ dengan melalui dalil-dalil syara’ pula.
Sedangakan fungsi ijtihad secara khusus adalah:
1. Mencurahkan segala kemampuan untuk:
- Mengetahui nas Al-Qur’an dan As-Sunnah.
- Mengetahui masalah ijma’ dan masalah-masalah yang ditetapkan hukumnya.
- Mengetahui bahasa Arab sebagai dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah
- Mengetahui ilmu ushul fiqih, karena merupakan dasaar ijma’.
- Mengetahui nasikh-mansukh, karena tidak boleh mengeluarkan hukum berdasarkan dalil mansukh.
2. Menghasilkan hukum syara’
Setiap peristiwa yang terjadi tentu ada dan harus ada hukumnya, sedangkan nas dan hadits terbatas jumlahnya. Maka ini berarti harus dilakukan ijtihad sebagai alat pengganti hukum.
3. Melahirkan hukum bagi peristiwa yang berkembang dan terjadi sebagai akibat perkembangan zaman. Dengan demikian hukum Islam terus berkembang sesuai dengan di
BAB 3
RUANG LINGKUP FIQIH
A. Pembidangan Ilmu Fiqih
Dalam berbagai literatur telah banyak ditemukan ulama’ fiqih membagi ruang lingkup fiqih secara garis besar terbagi dua, yaitu:
1. Muamalah (Hablum Minannas)
Yang dimaksud dengan mu'amalah adalah seluruh akad yang dengannya manusia saling tukar-menukar kebutuhan. Al Quran telah mengemukakannya dengan global kaidah-kaidah umum, seraya menyerahkan perinciannya kepada para mujtahid dari umat ini (Islam). Sebagian dari kaidah-kaidah umum (kaidah qauliyah) adalah sebagai berikut:
a. Allah menyuruh secara 'am (umum) untuk memenuhi janji. Allah berfirman dalam surat al Maidah ayat 1. Yang artinya: "Hai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu"
b. Allah melarang memakan harta manusia secara batal dan memberikannya kepada para hakim. Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 188.
وَلاَ تَأْ كُلُوْاأَمْوَ لَكُمْ بَيْنَكُمْ بِلْبَطِلِ وَتُدْ لُواِْبهاَ اِلىَّ الْحُكَّامِ لِتَأْ كُلُواْفَرِيْقًا مِنْ أَمْوَلِ النَّاسِ بِاْلاِءْثِم وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.
Artinya: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batal dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim-hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui"
  1. Al Quran mengemukakan dengan sifat khusus bagi jual beli yang merupakan sepenting-penting pertukaran, Allah menyebut halalnya jual beli dan haramnya riba. Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 276.
يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَواوَيُرْبِىالصَّدَ قَتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلًّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ.
Artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafirannya dan selalu berbuat dosa"
Ada beberapa hal yang merupakan prinsip fiqih Muammalah. Prinsip tersebut berkaitan dengan hak, milik, harta dan tasarruf (tindakan hukum). Tasarruf adalah segala tindakan yang muncul dari seseorang yang kehendaknya dan syara' menetapkan beberapa hak atas orang tersebut. Tasarruf ada dua macam, yaitu tasarruf fi'li (segala tindakan yang dilakukan dengan anggota badan selain lidah) dan tasarruf qauli (segala ucapan yang berkaitan dengan transaksi). Tasarruf qauli ada dua bentuk, yaitu 'aqdi (perkataan kedua pihak yang berhubungan seperti jual beli dan menyewa) dan ghairu 'aqdi (pernyataan mengadakan hak atau menggugurkannya seperti wakaf dan talak serta ada yang berupa tuntutan hak seperti gugatan, ikrar dan sumpah untuk menolak gugatan). Pembicaraan mengenai fiqih Muammalah meliputi bentuk-bentuk perikatan tertentu, seperti
a. Jual beli
b. Rahn (jaminan/rungguh)
c. Kafalah (jaminan hutang)
d. Al Hajr (pengampuan)
e. Syirkah (perserikatan dagang)
f. Ijarah
g. Ariyah (pemberian hak guna)
h. Al Wadi'ah (barang titipan)
i. Muzara'ah atau mutsaqah (penggarapan tanah)
j. Syuf'ah (hak istimewa yang dimiliki seseorang atas harta tidak bergerak tetangganya, apabila yang disebut terakhir ini akan menjualnya)
k. Luqatah (barang temuan)
l. Ji'alah (imbalan menemukan barang)
m. Al Qismah (pembagian milik bersama)
n. Hibah
o. As Sulhu (perdamaian)
p. Ibra
Beberapa persoalan yang berhubungan dengan hukum dagang juga dibicarakan oleh fuqaha Islam dalam bagian Fiqih Muammalah, seperti syarikat dagang, macam seperti bagaimana mengadakannya dan kedudukan hukumnya. Bahkan diantara syarikat-syarikat tersebut ada yang dibicarakan tersendiri seperti Mudarabah atau Qirad. Hal lain yang dibicarakn oleh fuqaha Islam ialah soal pailit, baik dalam bab pailit maupun dimasukkan dalam bab al Hijr (pengampuan).
2. Ibadah (Hablum Minallah)
Oleh beberapa ulama ibadah mempunyai arti yang sangat banyak. Ada yang menyebutkan bahwa ibadah adalah semua yang dilakukan / dipersembahkan untuk mencapai keridhaan Allah swt dan mengharapkan imbalan pahala-Nya di akhirat kelak. Menurut ulama Madzhab Hanafi, ibadah adalah perbuatan mukallaf untuk melawan hawa nafsunya dalam rangka mengagungkan Allah swt. Menurut ulama Madzhab Syafi'i, ibadah ialah perbuatan yang dibebankan oleh Allah swt kepada hamba-Nya yang tidak selamanya sesuai dengan keinginan yang bersangkutan. Ibnu Taimiyah menambahkan unsur yang amat penting, yakni kecintaan terhadap yang disembah sehingga ketundukan dan ketaatan yang merupakan ibadah haruslah berdasarkan kecintaan terhadap yang disembah.
B. Pengembangan Kajian Kontemporer
Pada masa awal Islam, terminologi fiqih digunakan untuk satu pemahaman Islam secara global yang mencakup pengertian asketis dalam bidang tasawuf , keyakinan tauhid, hukum peribadatan dan ajaran Islam lainnya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya istilah fiqih tidak lagi bersifat umum, melainkan khusus pada hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
Dalam kajian kontemporer terutama persoalan seputar fiqih lebih mengarah kepada sudut pandang hukum Islam dan berdasarkan kepada berbagai argumen, dengan harapan dapat meluruskan pemikiran, memperkokoh metodologi dan mampu merumuskan paradigma baru dalam fiqih. Dengan begitu, kajian semacam ini akan menjadi acuan para pekerja di lapangan keislaman dan orang-orang yang terkait dengan mereka. Berangkat dari kajian ini mereka akan berusaha memilahkan apa yang diprioritaskan hukum Islam dan mana yang diakhirkan, apa yang ditekankan dan apa yang diringankan, serta apa yang harus segera dilakukan dan apa yang masih dapat ditolerir oleh agama. Barangkali disinilah terletak sesuatu yang sering diabaikan oleh banyak kalangan.
BAB 4
PERIODESASI FIQIH
A. Periode Risalah
Periode ini dimulai sejak jaman Rasulullah SAW hingga wawatnya Nabi Muhammad SAW (11 H/632 M). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Fiqih mu'amalah pada saat itu identik dengan syari’at, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah semuanya terpulangkan kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah.
o Pada periode Makkah risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju kepada masalah akidah. Ayat yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata.
o Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini persoalan hukum diturunkan oleh Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun mu’amalah. Oleh karena itu ulama’ fikih meyebut periode ini sebagai periode revolusi sosial dan politik.
B. Periode Khulafa’urrasyidin
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan (41 H/661 M). Sumber fikih pada periode ini dismping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya beberapa ijtihad para sahabat. Ijtihad dilakukan ketika hukum persoalan yang akan ditentukan tidak dijumpai secara jelas dalam nas. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin Khattab menjadi khalifah, ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul dalam masyarakat.
Pada periode ini untuk pertama kalinya para fukaha’ berbenturan dengan budaya, moral, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam semakin meluas,dan masing-masing mempunyai kebudayaan sendiri.dalam menyelesaikan masalah itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak didapati mereka kemudian mencari dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika tidak dijumpai pula, mereka melakukan ijtihad.
C. Periode Awal Pertumbuhan Fiqih
Masa ini dimulai pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-3. Periode ini merupakan awal pertumbuhan fikih sebagai disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarnya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa khulafa’urrasyidin, muncul berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
D. Periode Keemasan
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke -4 H. periode ini termasuk dalam periode kemajuan Islam pertama. Seperti periode sebelumnya, cirri khas yang menonjol pada periode ini adalh semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama’, sehingga berbagai permasalahan tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya.
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlul hadits dengan ahlura’yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlura’yi berupaya membatasi, mensistemasi, dan menyusun kaidah rakyu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum.
Semangat para fuqaha’ pada periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqih, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Selain itu pada periode ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fikih dan ushul fiqih.
E. Periode Takrir, Takhrij, Dan Tarjih Dalam Mazhab Fiqih.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. yang dimaksud takrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama’ masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas, dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad di kalangan ulama’ fiqih. ulama’ fiqih lebih berpegang kepada ijtihad yang telah dilakukan oleh para imam sehingga mujtahid mustaqil tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama’ fiqih yang berijtihad maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut.
Pada periode ini persaingan pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subyektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sekalipun ada upaya ijtihad pada masa itu, namun lebih banyak merbentuk tarjih (meguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat komentar, penjelas, dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam kitab masing-masing mazhab.
F. Periode Kemunduran Fiqih
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 sampai munculnya Majallah al-Ahkam al- Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani). Pekembangan fikih pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fikih yang main menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah fikih dikenal dengan periode talkid secara membabi buta.
Pada masa ini ulama’ fikih lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqih yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Setiap ulama’ berusaha untuk menyebarkan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini menyebabkan semakin melemahnya kretivitas ilmiah secara mandiri untuk mengatisipasi perkembangan dan tuntutan zaman.
Pada periode ini terdapat tiga hal perkembangan fikih yang menonjol, yaitu:
1. Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi dalam berbagai mazhab.
2. Munculnya beberapa produk fiqih sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani.
3. Munculnya gerakan pengkodifikasian hukum Islam sebagai mazhab remi pemerintah di akhir periode.
G. Periode Pengkodifikasian Fiqih
Periode ini dimulai sejak munculnya Majallah al-Ahkam al- Adliyyah sampai sekarang. Usaha pengkodifikasian fikih pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan, dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antar negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan juga ulama’ fiqih yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama’ fiqih dari kritikan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali.
Pada periode ini terdapat tiga hal yang mewarnai perkembangan fikih, yaitu:
1. Munculnya upaya pengkodifikasian fikih sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman.
2. Upaya yang dilakukan dalam pengkodifikasian fiqih semakin luas.
3. Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqih yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqih tertentu .
BAB 5
TRANSFORMASI HUKUM FIQIH
A. Proses Transformasi Hukum Fiqih
Perpindahan transformasi hukum telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad saw. Hukum yang dikeluarkan disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Setelah Nabi hukum-hukum itu disebarkan oleh para sahabat Nabi yang ada, baik itu sebelum Nabi wafat maupun sesudah Nabi wafat hingga masa Khulafaurrasyidin. Pembinaan hukum pada masa Fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Di dalamnya munculah para Fuqaha yang menjadi tumpuan taklid keagamaan serta munculnya murid-murid mereka yang menerangkan pendapat-pendapat mereka dengan tidak adanya kemerdekaan mereka dalam penisbatan ini. Lalu pembinaan itu semakin kompleks permasalahannya dengan munculnya buku-buku besar atau karangan-karangan dari para Imam yang membahas masalah tersebut. Sampai saat ini hukum-hukum Islam itu masih kita pegang teguh (yang berupa al Quran dan al Hadits) dengan didukung oleh kemampuan pemikir fiqih kontemporer.
B. Peranan Imam-Imam Mujtahid
Peranan Imam-imam mujtahid di dalam penentuan hukum Islam sangat penting, karena pemikiran mereka nantinya akan diikuti oleh umat muslim lainnya. Apalagi ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya kewajiban orang Islam, apabila ia sendiri sukar mencapai hukum langsung dari dalil-dalilnya, ialah bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan, tetapi tidak mesti ia menganut suatu madzhab tertentu, karena tidak ada kewajiban kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak mewajibkan seseorang untuk bermadzhab dengan suatu madzhab dari imam-imam itu.
Adapun syarat-syarat mujtahid adalah
1. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang al Quran. Ulama sepakat bahwa seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya. Misalnya, tentang 'amm (lafal umum), khass (lafal khusus), mutlaq (lafal mutlak), muqayyad (lafal yang terbatas), dan lain-lain.
2. Memiliki pengetahuan yang baik tentang sunnah Rasulullah saw. Pengetahuan tersebut harus dimiliki seorang mujtahid karena sunah merupakan penjelas (al Bayan) dari al Quran dan sumber hukum Islam kedua setelah al Quran. Pengetahuan itu meliputi segala ilmu yang berkaitan dengan sunah, yaitu ilmu hadits riwayah, ilmu hadits dirayah, ilmu jarh wa ta'dil, asbabul wurud dan ilmu lainnya yang terkait.
3. Mengetahui persoalan-persoalan yang menjadi ijmak ulama terdahulu. Seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui seluk-beluk ijma' serta persoalan-persoalan yang telah disepakati hukumnya oleh para ulama'.
4. Mengetahui bahasa Arab. Pengetahuan yang baik tentang seluk-beluk bahasa Arab. Seperti di dalam surat Yusuf ayat 2.
اِناَّ أَنْزَلْنَهُ قُرْاَنًاعَرَبِيًالَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ.
5. Menguasai ilmu ushul fiqih. Seorang mujtahid harus memahami ilmu ushul fiqih secara baik, karena dalam ilmu itu dapat diketahui kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengistinbatkan hukum syara' dari al Quran dan sunah.
6. Memahami maksud-maksud syara' secara jeli dan baik. Syarat ini diperlukan oleh seorang mujtahid, karena dalam memahami dan menerapkan hukum-hukum yang dikandung oleh nusus terhadap persoalan hukum yang dihadapinya harus senantiasa mengacu kepada maksud Allah swt dalam mensyariatkan hukum.
C. Dampak Perbedaan Pendapat Antar Ulama
Perbedaan yang muncul dari para ulama disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Berbeda pengertian perkataan. Ini merupakan bab yang luas yang terjadi karena kata-kata yang jarang dipakai, kata-kata yang mempunyai arti lebih dari satu, adanya pengertian kiasan di samping pengertian hakiki dan perbedaan urf mengenai arti sesuatu perkatan yang dipakai.
2. Riwayat (kejadian bahwa ada hadits yang sampai pada sebagian dan tidak sampai kepada sebagian yang lain atau sampai dengan cara yang tidak memungkinkanhadits itu dijadikan hujjah, sedang kepada lainnya sampai dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjadi hujjah; atau sampai kepada kedua-duanya dari satu jalan, tetapi mereka berbeda pendapat tentang memberi nilai kepada salah seorang perawi yang menyampaikan hadits itu.
3. Berlawanan dalil mengenai qaidah-qaidah yang sebagian menerimanya sedang yang lain tidak menerimanya.
4. Berlawanan dan mentarjihkan.
5. Qias.
6. Dalil-dalil yang diperselisihkan tentang boleh tidak memakainya.
Dampak yang ditimbulkan dari perbedaan para ulama ini sangat banyak, diantaranya:
1. Munculnya madzhab dari beberapa para imam
2. Munculnya berbagai aliran-aliran / faham-faham
3. Banyak terjadi perdebatan-perdebatan terutama masalah fiqih
BAB 6
MAZHAB FIQIH
A. Produk Hukum Yang Melatar Belakangi Timbulnya Perbedaan Pendapat
Kita telah mengetahui bahwa pada permulaan Islam tidak ada mazhab dan tidak ada sekte-sekte, dan pada awal-awal Islam muncul, Islam bersih dari pengaruh luar, dan kaum Muslim pada waktu itu mencapai kejayaannya. Juga diketahui dengan pasti bahwa adanya sekte-sekte dan mazhab-mazhab itu dapat memecah belah kaum Muslimin, serta dapat memperuncing jurang pemisah antara mereka, karena dengannya tidak mungkin mereka dapat menyusun kekuatan dan mengatur langkah bersama untuk merumuskan satu jalan untuk mencapai satu tujuan. Tetapi bagi musum-musuh Islam dan para penjajah, justru sebaliknya. Yakni mereka mendapatkan peluang dan kesempatan yang sangat baik dari adanya perpecahan ini untuk menyebarluaskan berbagai fitnah. Cara yang dilakukan mereka untuk memenangkan Barat dari Timur dan untuk menjatuhkan Timur, hanya dengan cara memecah belah dan hanya menyebarkan isu-isu yang menggebuk bangsa Timur.
Dari keterangan itu muncul ide-ide dan pemikiran-pemikiran para pemimpin yang ikhlas, untuk menyatukan suara dan mengumpulkan jama’ah Islamiyah, serta berusaha untuk merelisasikan penyatuan suara itu dengan berbagai cara. Di antaranya adalah dengan membuka pintu ijtihad dan memberantas penyelewengan dalam mengikuti mazhab tertentu.
B. Biografi Masing-masing Mujtahid.
* Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib. Dilahirkan di Kufah pada tahun 150 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abdul Malik. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur’an. Beliau dengan tekun selalu mengulang-ulang bacaannya, sehingga ayat-ayat suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya. Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang Al-Qur’an, beliau sempat berguru kepada Imam Asin, seorang ulama’ terkenal pada masa itu.
Selain memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqih. Dalam hal ini kalangan sahabat Rasulullah SAW, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Taufail Amir, dan lainnya. Dari mereka, beliau juga mendalami ilmu hadits.
Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri semapat terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau memutuskan perhatian soal keilmuan. Beliau juga dikenal sebagai seorang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqih kepada ulama’ yang paling terpandang pada masa itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat gurunya, Imam Hanifah kemudian mulai mengajar dibanyak majlis ilmu di Kufah.
Tahun 130 H Imam Abu Hanifah pergi meninggalkan Kufah menuju Makkah. Semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’ dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik kepada jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di pekuburan Khizra. Sepeninggalan beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Kemudian pada tahun 450 H/1066 Mazhab, didirikan sebuah sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
* Imam Malik bin Anas (93-179 H/712-795M)
Imam Malik bin Anas, pendiri madhab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H. beliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an.
Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama’ yang sangat terkenal pada saat itu. Selain itu beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, selain itu juga mempelajari ilmu fiqih kepada para sahabat.
Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama’ yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadits dan fiqih. Setelah kemudian mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imam Malik mulai mengajar. Meski begitu beliau dikenal sangat berhati-hati dalam memberi fatwa. Beliay tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti hadits-hadits Rasulullah SAW, dan bermusyawarah dengan ulama’ lain sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah.
Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat, selain itu beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya yang memberi kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan.
Imam Malik adalah seorang ulama’ yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqih. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut. Beliau meninggal dunia paad usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki ntersebar luas dan dianut dibanyak bagian di seluruh penjuru dunia.
* Imam Syafi’i (150-204 H/769-820 M)
Imam Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 Hafshah, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.
Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama’-ulama’ hadits yang banyak terdapat di Makkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur’an.
Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Makkah mempelajari ilmu fiqih dari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq untuk mempelajari ilmu fiqih kepada murid Imam Abu Hanifah yang masih ada, dalam perantauannya tersebut beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lain.
Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajarkan ilmu di sana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi’i sejak saat itu beliau dikenal lebih luas dan banyak orang-orang belajar kepada beliau. Dan pada waktu itulah mazhabnya mulai dikenal.
Tak lama setelah itu, Imam Syafi’i kembali ke Makkah dan mengajar rombongan jama’ah haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui jalan ini, mazhab Syafi’i menjadi tersebar luas ke penjuru dunia. Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negeri Mesir dan mengajar di masjid Amru bin As. Di Mesir inilah kemudian beliau wafat.
* Imam Ahmad Hambali (164-241 H/780-855 M)
Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahiyrkan di Baghdad pada bulan Rabiul Aeal tahun 164 H (780 M).
Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau menunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan menghafal Al-Qur’an, kemudian belajar bahasa Arab, Hadits, sejarah Nabi dan sejarah sahabat serta para tabi’in.
Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Bashrah untuk beberapa kali, disanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi’i. Beliau juga pergi menuntu ilmu ke Yaman dan Mesir. Diantara guru beliau yang lain adalah Yusuf Al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad bin Hambal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadits, dan beliau tidak mengambil hadits, kecuali hadits-hadits yang sudah jelas shahihnya. Beliau mulai mengajar ketika berusia 40 tahun.
Pada masa pemerintahan Al-Muktasim – Khalifah Abbasiyah beliau sempat dipenjara, karena spendapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil.
Imam Ahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun 241 H (855 M) pada masa pemerintahan Khalifah Al-Wathiq. Sepeniggalan beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.
BAB 7
KAIDAH FIQIH
Deskripsi Bagian Dari Kaidah-Kaidah Fiqih
* Amar dan nahi
Pengertian amar menurut istilah ulama’ ahli fiqih ialah perintah dari atasan kepada bawahannya (dari Allah SWT kepada manusia), tentang suatu perbuatan yang harus dilakukan. Dalam hal ini perintahnya telah tercantum di dalam Alqur’an dan Al-Hadits.
Sedangkan pengertian nahi ialah perintah meninggalkan suatu perbuatan dari tasan kepada bawahannya (dari Allah SWT kepada manusia), pada dasarnya nahi itu menunjukkan kepada hukum haram, tetapi sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa nahi pada dasarnya menunjukkan hukum makruh, tetapi jika ada satu qarinah (keterangan) yang menunjukkan bahwa nahi itu biasa saja untuk menunjukkan selain hukum haram.
* Mutlaq dan Muqayyad
Pengertian mutlaq ialah lafal yang menunjukkan arti sebenarnya dengan tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang lain. Jadi lafal mutlaq ini masih dalam keadaan yang asli tanpa batasan-batasan dengan sesuatu lafal.
Sedangkan pengertian muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya yang dibatasi oleh sesuatu batasan tertentu.
* Mantuq dan Mafhum
Pengertian mantuq ialah sesuatu hal yang hukumnya diterangkan oleh lafal menurut bunyi lafal itu sendiri (menurut ucapannya), jadi menurut mantuqnya yang dimaksudkan adalah menurut apa adanya yang terdapat dalam dalil itu.
Sedangkan pengertian mafhum ialah suatu hal atau hukum yang diterangkanoleh suatu lafal tidak menurut bunyi lafal itu sendiri, tetapi menurut pemahaman atau menurut makna yang terkandung dalam lafal itu.
* Pembagian Mafhum,
Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah
Yaitu mafhum yang apabila hukum yang tidak disebut dalam lafal itu sesuai dengan yang disebutkan dalam lafal tersebut (tidak berlawanan).
2. Mafhum Mukhalafah
Yaitu apabila hukum yang tidak disebut lafal itu berlawanan dengan apa yang disebutkan dalam lafal itu.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya;
- Mafhum Shifat , ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu melalui sifat yang terdapat dalam manthuq.
- Mafhum Ghayah, ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu dengan melalui gahayah (balasan)
- Mafhum Syarat, ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu dari hukum manthuq bila yang dibatasi dengan satu surat.
- Mafhum Adad, ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu hukum mantuq yang dibatasi dengan bilangan yang sudah tertentu.
- Mafhum Laqob, ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu dari hukum mantuq dengan isi alam (nama orang-orang), isim sofat (yang menunjukkan kualitas atau aktivitas) dan isim jains (nama untuk materi tertentu).
- Mafhum Hashar, ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat’anhu dari hukum mantuq yang di hasharkan (dikhususkan hanya untuknya).
* Mujmal dan Mubayyan
Pengertian mujmal ialah lafal yang belum jelas yang tidak dapat menyebukan arti sesungguhnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya.
Sedangkan pengertian mubayan ialah suatu pekataan yang terang tanpa memerlukan penjelasan dari yang lainnya.
* Muradif dan Musyatarak
Pengertian muradif ialah beberapa lafal yang banyak mempunyai satu arti. Dalam bahasa sehari-hari biasanya disebut sinonim.
Sedangkan pengertian musyatarak ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti atau lebih yang sebenarnya arti-arti tersebut berbeda.
* Dzahir dan Ta’wil
Pengertian dzahir ialah dalil yang dapat menerima ta’wil. Suatu dalil yang mungkin untuk dita’wil atau memerlukan ta’wil agar tidak terdapat salah faham sehingga arti tadi bisa lebih sesuai.
Sedantgkan pengertian ta’wil ialah memindahkan suatu perkataan dari makna yang terang kepada makna yang tidak terang, karena ada suatu dalil yang menyebabkan makna yang kedua tersebut harus dipakai.
* Nasikh dan Mansukh
Pengertian nasikh ialah menghapuskan suatu hukum dengan suatu dalil yang datang kemudian.
Sedangkan pengertian mansukh ialah hukum yang telah dihapuskan.
BAB 8
FIQIH IBADAH
A. Pengertian Dan Hakikat Ibadah
Pengertian ibadah secara etimologi adalah pengabdian, penyembahan, ketaatan, menghinakan/merendahkan diri, doa.
Pengertian ibadah secara terminologi adalah perbuatan yang dilakukan sebagai usaha menghubungkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai tuhan yang disembah dengan ketundukan serta kerendahan diri.
Ibadah berawal dari suatu hubungan dan keterkaitan yang erat antaar hati dan Yang Disembah, kemudian hubungan dan keterkaitan itu meningkat menjadi kerinduan karena tercurahnya perasaan hati kepada-Nya, kemudian rasa rindu itu pun meningkat menjadi kecintaan. Oleh karena itu, betapa pun seseorang menundukkan diri kepada sesama manusia, ketundukan yang demikian tidak dapat dikatakan sebagai ibadah sekalipun anak dan bapaknya. Ibadah mencakup semua aktivitas yang diakukan manusia yang disenangi Allah SWT dan diridhai-Nya, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, baik bersifat lahiriah maupun batiniah.
Hakikat ibadah adalah ketundukan atau kepatuhan dan kecintaan yang sempurna kepada Allah SWT. Ketundukan dan kepatuhan ini akan melahirkan:
1. Kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT dan harus mengabdi/menyembah kepada-Nya, sehingga ibadah merupakan tujuan hidupnya.
2. Kesadaran bahwa sesudah kehidupan di dunia ini akan ada kehidupan akhirat sebagai masa untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaan perintah Allah SWT selama ia menjalani kehidupan di dunia.
3. Kesadaran bahwa dirinya diciptakan Allah SWT bukan sekedar pelengkap alam semesta, tetapi justru menjadi sentral alam dan segala isinya.
B. Identifikasi Antara Ibadah Mahdah Dan Ghoiru Mahdah
* Ibadah mahdah
Adalah ibadah yang mengandung hubungan dengan Allah SWT semata-mata, yakni hubungan vertikal. Ibadah ini hanya terbatas pada ibadah-ibadah khusus.
Ciri-ciri ibadah mahdah adalah semua ketentuan dan aturan pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci melalui penjelasan-penjelasan Al-Qur’an dan/atau hadits. Ibadah mahdah dilakukan semata-mata bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Contoh, shalat harus mengikuti petunjuk Rasulullah SAW dan tidak diizinkan menambah atau menguranginya.
* Ibadah ghoiru mahdah
Adalah ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah SWT, tetapi juga berkaitan dengan hubungan sesama makhluk, disamping hubungan vertikal juga ada unsur hubungan horizontal.
Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya terbatas pada hubungan antar manusia saja, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungannya
C. Karakteristik/sifat Ibadah
Beberapa sifat yang menjadi karakteristik ibadah adalah sebagai berikut:
* Bebas dari perantara.
Untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT, seorang muslim tidak memerlukan perantara. Seorang muslim dapat dan harus beribadah secara langsung kepada Allah SWT, tidak dibutuhkan lembaga tertentu untuk menghubungkan dan menyampaikan ibadahnya kepada Allah SWT. Para ahli agama hanya berfungsi dan berperan sebagai pengajar dan penunjuk bagi muslim lainnya dan tidak berwenang untuk menerima dan menolak ibadah seseorang.
* Tidak terikat oleh tempat-tempat khusus.
Secara umum Islam tidak mengharuskan penganutnya untuk melakukan ibadah pada tempat-tempat tertentu kecuali ibadah haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai tempat ibadah. Tidak perduli itu rumah, di atas kapal yang sedang berlayar, atau pun di dalam masjid yang dibangun sebagai tempat ibadah.
* Pengertiannya bersifat menyeluruh.
Ibadah dalam islam tidak hanya terbatas pada ucapan atau bacaan dan doa tertentu, tetapi mencakup berbagai aktivitas duniawi sepanjang dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas serta mencukupi syarat-syarat.
* Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan.
Ibadah tidak memberatkan dan menyulitkan memeberikan manfaat tersendiri bagi manusia. Diantarnya agar tidak terjadi pelaksanaan ibadah yang putus di tengah jalan (berhenti sebelum selesai) karena mengalami kesulitan. Dan juga agar tidak tejadi pengabaian suatu ibadah yang lain.
BAB 9
FIQIH MU’AMALAH
A. Pengertian Fiqih Mu’amalah.
Fiqih mu’amalah terdiri atas dua kata, yaitu: fiqh dan mu’amalah. Sedangkan pengertian fiqih mu’amalah menurut etimologi itu sendiri yaitu kata mu’amalah, bentuk masdar dari kata ‘amala,yang artinya saling sertindak, saling berbuat, dan saling beramal.
Fiqih mu’amalah menurut terminologi dapat dibagi menjadi dua, fiqih mu’amalah dalam arti luas dan fiqih mu’amalah dalam arti sempit..
| Fiqih mu’amalah dalam arti luas.
Diantara definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ tentang definisi fiqih mu'amalah adalah:
1. Menurut Ad-Divati,
Antivitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.
2. Menurut Muhammad Musa,
Peraturan-peraturan Allah SWT yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
Dari dua pengertian menurut pedapat masing-masing ulama’ dapat diketahui bahwa fiqih mu'amalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT yang telah ditentukan dan ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
Menurut pengertian semua ini, manusia kapanpun dan dimanapun harus senantiasa mengikuti aturan-aturan yang telah di tetapkan Allah SWT. Sekalipun dalam perkara yang bersifat duniawi. Sebab segala aktivitas, perbuatan manusia nantinya akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.
Dengan kata lain, di dalam ajaran Agama Islam, tidak ada pemisah antara amal dunia dengan amal akhirat, oleh karena itu sekecil apapun amal perbuatan manusia di dunia harus didasarkan pada ketetapan Allah SWT.
| Fiqih mu'amalah dalam arti sempit.
Disini terdapat beberapa definisi fiqh mu'amalah menurut beberapa ulama’ adalah;
1. Menurut Hudayri Beik,
Mu'amalah adalah semu akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.
2. Menurut Idris Ahmad
Mu’amalah adalah aturan Allah SWT yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
3. Menurut Rasyid Ridha
Mu’amalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Jika dilihat dari ketiga definisi menurut para ulama’ diatas, fiqih mu'amalah dalam artian sempit menekankan keharusan untuk mentaati aturan-aturan Allah SWT. Atau atau dapat disebut dengan hubungan kita kepada Allah SWT (hablumminannas), karena hal tersebut adalah sebagai jalan untuk menuju (hablumminAllah).
B. Ruang Lingkup Fiqih Mu'amalah
Berdasarkan fiqih mu'amalah di atas, ruang lingkup fiqih mu'amalah terbagi atas dua bagian, yaitu;
b. Fiqih mu'amalah adabiyah,
yaitu tata cara manusia dalam melakukan kegiatan mu’amalah. Hal-hal yang termasuk di dalamnya seperti;
Ijab dan qabul, saling meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari pihak manapun, hak dan kewajiban, kejujuran, dll.
c. Fiqih mu'amalah madiyah,
yaitu pengaplikasian dari mu’amalah adabiyah atau dapar disebut dengan kegiatan mu’amalah. Hal-hal yang termasuk di dalamnya seperti;
Jual beli (al-ba’i al-atijaroh), gadai (rohn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhoman), pemindahan hutang (hiwalah), batas bertindak (al-hajru), perseroan atau pengkongsian (as-syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-mudharobah), sewa menyewa tanah (al-musyaqoh al-muqorabah), upah (al-ujroh al-amanah), gugatan (asy-sufah), sayembara (al-ji’alah), pembagian kekayaan bersama (al-qisman), pembirian (al qibah), pembebasan (al-ibro’), pembebasan dan juga beberapa masalah mu’assiroh (muhaditsah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dll.
C. Hubungan Antara Fiqih Mu'amalah Dan Fiqih Lainnya.
Telah disinggung bahwa para ulama’ fiqih telah mengadakan pembagian atau pembidangan ilmu fiqih. Namun demikian diantara mereka telah terjadi pebedaan pendapat pembidangannya.
1. Ada yang membagi menjadi dua bagian, yaitu;
* Ibadah
* Mu’amalah
2. Ada yang membagi menjadi tiga bagian, yaitu;
* Ibadah
* Mu’amalah
* Uqubah (pidana islam)
3. Ada yang membagi menjadi empat bagian, yaitu;
* Ibadah
* Mu’amalah
* Munakahat
* Uqubah
Diantara pembagian di atas, yang lebih banyak disepakati oleh para ulama’ adalah yang membagi menjadi dua bagian yaitu ibadah dan mu’amalah. Karena fiqih mu'amalah itu sendiri sudah mencakup bidang-bidang fiqih mu'amalah lainnya.
Dengan demikian, fiqih mu'amalah dalam artian luas merupakan bagian dari fiqih secara umum, di samping fiqih ibadah yang mencakup bidang-bidang fiqih lainnya seperti fiqih mu’amalah dan fiqih munakahat dalam artian sempit.
BAB 10
FIQIH MUNAKAHAT
A. Pengertian Nikah
Pengertian nikah secara etimologi adalah mengumpulkan, menggabungkan, atau menjodohkan. Nikah juga berarti bersenggama.
Sedangkan pengertian nikah menurut terminologi adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Firman Allah SWT QS. An-Nisa' 3
....فاَنْكِحُوْامَاطَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلُثَ وَرُبَعَ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّتَعْدِلُوْافَوْاحِدَةً اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ اَدْنَى اَلاََّتَعُوْلُوْا.
…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
( An-Nisa’: 3)
B. Rukun dan Syarat Nikah
* Rukun nikah adalah suatu komponen yang harus dipenuhi dalam pernikahan, apabila suatu pernikahan tidak terpenuhi salah satu rukunya maka pernikahan itu batal atau tidak sah. Yaitu:
1. Calon suami.
2. Calon istri.
3. Adanya sighat (akad) nikah.
4. Adanya wali calon istri.
5. Adanya saksi.
* Syarat nikah adalah syarat yang harus dipenuhi oleh unsur-unsur yang terlibat dalam rukun nikah. Yaitu:
a). Syarat calon suami.
1. Islam.
2. Terang bahwa ia seorang laki-laki
3. Tidak ada yang memaksanya.
4. Tidak dalam keadaan sudah beristri empat orang.
5. Bukan mahram calon istri.
6. Tidak mempunyai istri sepersusuan dengan calon istrinya.
7. Mengetahui bahwa calon istrinya itu bukan perempuan yang haram dinikahi olehnya.
8. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umroh.
b). Syarat calon isti
1. Islam.
2. Terang bahwa ia seorang perempuan.
3. Telah mendapat izin dari walinya.
4. Tidak dalam keadaan bersuami, atau masih dalam iddah.
5. Bukan mahram calon suaminya.
6. Bukan perempuan yang pernah dili’an oleh calon suaminya.
7. Bila ia seorang janda, atas kemauannya sendiri, bukan dipaksa.
8. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umroh.
c). Syarat akad nikah
Akad nikah terdiri dari ijab dan qabul. Ijab qabul dilakukan oleh wali calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki. Bila wali calon istri mengucapkan ijab, maka qabul oleh calon suami, dan jika ijab diucapkan oleh calon suami, maka qabul oleh wali calon istri.
d). Syarat wali calon istri
1. Laki-laki.
2. Islam.
3. Baligh/dewasa.
4. Merdeka.
5. Adil.
6. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umroh.
e). Syarat saksi
1. Sekurang-kurangnya 2 orang saksi laki-laki yang merdeka, adil, baligh/dewasa, berakal.
2. Islam.
3. Dapat melihat dan mendengar.
4. Memahami bahasa yang digunakan dalam akad.
C. Cara dan Bentuk Pernikahan
* Melihat calon istri
Adalah usaha yang dilakukan seorang laki-laki untuk mendekati calon istrinya sebelum meminangnya, dengan maksud untuk memperkuat maksud dirinya dalam rencana perjodohan dengan perempuan tersebut.
Dalam hal ini, bahwa melihat calon istri tidak hanya melihat itu tidak hanya melihat fisik semata, tetapi dimaksudkan untuk melihat tentang situasi calon istrinya itu, baik mengenai akhlaknya, maupun hal-hal lainnya, sehingga tidak terjadi penyesalan setelah pernikahan. Adapun yang dibenarkan untuk dilihat adalah muka dan telapak tangan. Hal ini sesuai dengan batas aurat yang boleh nampak bagi perempuan.
* Meminang (khitbah)
Adalah ucapan permintaan dari seorang calon suami kepada calon istrinya yang telah ia pilih, agar perempuan pilihannya itu mau menjadi istrinya.
Adapun cara meminang, dari adat kebiasaan masyarakat setempat, dengan tidak keluar dari garis-garis pokok hukum yang mengesahkan pinangan. Di dalam meminang itu, yang meminta maupun yang menerima biasanya bukan yang bersangkutan, tetapi diwakili oleh wali masing-masing.
- Syarat sah pinangan :
1. Perempuan yang dipinang tidak dalam ikatan pernikahan.
2. Tidak dalam masa iddah talaq raj’i.
3. Belum dipinang oleh orang lain.
D. Deskripsi Macam-Macam Pernikaham Yang Terlarang
Sebagaimana telah diketahui bahwa sahnya suatu pernikahan tergantung kepada dipenuhinya atau tidak syarat dan rukun nikah itu sendiri. Sementara itu apabila suatu pernikahan hanya dilihat dari terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur yang terlibat dalam aqad nikah tanpa meneliti tujuan hakiki dari pernikahan itu sendiri, maka akan terjadi hal-hal yang dapat menyimpang dari maksud disyari’atkannya pernikahan.
Berikut ini pernikahan terlarang karena bertentangan dengan tujuan pernikahan yang sebenarnya.
a). Nikah mut’ah.
Yaitu nikah untuk waktu tertentu. Nikah ini dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita hanya untuk bersenang-senang dalam waktu terbatas menurut perjanjian keduanya. Apabila batas waktunya telah berakhir, maka pernikahan ini putus dengan sendirinya.
b). Nikah syighar.
Yaitu pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang diikuti dengan penikahan antara bapak perempuan tersebut dengan anak perempuan laki-laki yang menikah dengan anak perempuannya. Nikah syighar tidak mempergunakan mahar, oleh karena itu pernikahan ini bertentangan sekali dengan syari’at.
c). Nikah tahlil.
Pernikahan yang dilakukan oleh seorang pria dengan maksud agar perempuan yang dinikahinya itu dapat kembali kepada suami pertama yang telah menjatuhkan talaq tiga.
d). Nikah antar agama
Yaitu nikahnya seorang laki-laki muslim dengan perempuan musyrik (bukan ahli kitab), atau juga nikahnya seorang laki-laki musyrik dengan seorang perempuan muslim.
BAB 11
FIQIH JINAYAT
A. Pengertian Jinayat
Pengertian jinayat secara etimologi dapat diartikan dengan memetik, memotong, mengambil, dan atau memungut.
Sedangakan pengertian jinayat secara terminologi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam mengambil hak Allah SWT, sesama manusia dan hak makhluk lainnya, yang atas perbuatannya dikehendaki ada pembalasan seimbang dunia dan akhirat dengan mendapat hukuman berat dari Allah SWT. Obyek pembahasan yang dikaji meliputi hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah tindak pidana dan hukumannya.
B. Pembagian Macam dan Bentuk Jinayat
1. Qishash
Pengertian qishash adalah hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan anggota badan seseorang, yang dilakukan dengan sengaja.
­ Syarat-syarat qishash :
1. Pembunuh sudah baliq dan berakal sehat.
2. Pembunuh bukan orang-orang tua dari orang-orang yang dibunuh.
3. Membunuh dengan sengaja.
4. Orang-orang yang dibunuh terpelihara darahnya.
5. Orang-orang yang dibunuh sama derajatnya.
6. Qishash dilakukan dalam hal yang sama(jiwa dengan jiwa, dll).
- Hikmah hukum qishash;
1. Memberikan pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kejahatan terhadap manusia.
2. Manusia akan merasa takut berbuat jahat terhadap orang-orang lain.
3. Qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia.
4. Timbulnya ketertiban, keamanan, dan kedamaian dalam masyarakat.
2. Diyat (denda)
Pengertian diyat adalah denda sejumlah barang atau uang sebagai pengganti hukum qishash karena dimaafkan oleh keluarga korban. Diyat dikenakan kepada;
1. Pelaku pembunuhan disengaja yang dimaafkan keluarga korban.
2. Pembunuh yang tidak sengaja.
3. Pembunuh yang mirip disengaja.
4. Pembunuh yang lari sebelum diqishash.
5. Memotong/membuat cacat anggota badan lalu dimaafkan.
- Macam-macam diyat
1. Diyat mugholadzah (berat), yaitu dengan memenuhi kriteria;
- 30 unta betina umur 3 masuk 4 tahun.
- 30 unta betina umur 4 masuk 5 tahun.
- 40 unta betina sedang hamil.
2. Diyat mukaffafah (ringan), yaitu dengan memenuhi kriteria;
- 20 unta betina umur 1 masuk 2 tahun.
- 20 unta betina umur 2 masuk 3 tahun.
- 20 unta jantan umur 2 masuk 3 tahun.
- 20 unta betina umur 3 masuk 4 tahun.
- 20 unta betina umur 4 masuk 5 tahun.
- Hikmah diyat
1. Mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga.
2. Sebagai obat pelipur lara bagi keluarga korban
3. Timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
3. Kifarat
Pengertian kifarat adalah tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh syari’at Islam karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan oleh Allah SWT.
- Macam-macam kifarat
1. Kifarat karena pembunuhan, melakukan perbuatan dengan memerdekakan hamba sahaya atau berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
2. Kifarat karena melanggar sumpah, melakukan perbuatan dengan memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian, memerdekakan 1budak atau berpuasa selama 3 hari.
4. Hudud (HAD)
Pengertian hudud adalah sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera atau dipukul (jilid) atau dengan dilempari batu hingga mati (rajam).
- Perbuatan yang dapat dikenakan hudud
1. Zina, terbagi menjadi dua;
- Zina muhshan, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang sudah atau pernah menikah. Hududnya adalah dirajam atau dilempari batu sampai mati.
- Zina ghairu muhshan, yaitu zina yang oleh orang yang belum pernah menikah. Hududnya adalah dijilid atau dicambuk 100 kali dan dibuang atau diasingkan kedaerah lain selama 1 tahun.
2. Qadzaf (menuduh orang berbuat zina), hududnya adalah didera atau dijilid sebanyak 80 kali, had hamba sahaya 1 atau 2 had orang merdeka.
- Syarat dikenakannya had:
1. Penuduh sudah baligh, berakal sehat dan bukan orang tua si tertuduh.
2. Orang yang dituduh adalah orang yang terpelihara.
­ Gugurnya had:
1. Penuduh dapat mengemukakan 4 orang saksi.
2. Dengan li’an.
3. Orang yang dituduh memaafkan.
3. Minum minuman keras, hududnya adalah dijilid atau didera antara 40-80 kali.
4. Mencuri, hududnya adalah:
- Jika mencuri untuk pertama kalinya, maka dipotong tangan kanannya.
- Jika mencuri untuk kedua kalinya, maka dipotong tangan kirinya.
- Jika mencuri untuk ketiga kalinya, maka dipotong tangan kanannya.
- Jika mencuri untuk keempat kalinya, maka dipotong tangan kirinya.
- Jika mencuri untuk kelima kalinya dan seterusnya, maka hukumannya adalah ta’zir dan dipenjara sampai bertaubat.
5. Ta’zir
Pengertian ta’zir adalah apabila seseorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum atau tidak memenuhi syarat membayar diyat.
Dalam hal ini hukuman yang tidak ditetapkan hukumannya dalam Al-Qur’an dan hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan.
- Menurut Imam Syafi’I, ta’zir sebanyak 39 kali hukuman cambuk untuk orang merdeka, sedang untuk budak 19 kali.
- Menurut Imam Hanafi, maksimal 75 kali dan bagi hamba 10 kali.
BAB 12
FIQIH SIYASAH
A. Pengertian Siyasah
Pengertian siyasah secara etimologi adalah ilmu tentang seluk beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa hukum, pengaturan, dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan agama Islam untuk mewujudkan kepentingan orang banyak.
Pengertian siyasah secara terminologi berarti mengurus atau memelihara ketertiban dan kemashlahatan manusia berdasarkan syari’at Islam.
Fikih siyasah adalah bagian dari hukum Islam atu lebih dikenal dengan ilmu tata Negara. Fikih siyasah merupakan keputusan politik, keputusan itu antara lain berisi ketentuan tentang siapa yang menjadi sumber kekuasaan, siapa pelaksananya, apa dasar dan bagaimana cara ia melaksanakan kekuasaan itu, dan kepada siapa kekuasaan itu dipertanggung jawabkan.
B. Bentuk Dan Macam-Macam Siyasah
Berdasarkan pembagiannya, secara umum fiqih siyasah terdiri dai empat macam, yaitu:
* Politik perundang-undangan
Politik ini mencakup politik penetapan hukum, peradilan, administrasi, dan pelaksanaan undang-undang atau hukum. Politik perundang-undangan ini berkaitan dengan peraturan dasar bernegara, bentuk dan batas-batas kekuasaan, cara pemilihan kepala Negara, kewajiban individu dan masyarakat serta hubungan antara penguasa dan rakyat.
* Politik luar negeri
Politik ini mencakup diantaranya dalam bentuk hubungan antara Negara Islam dengan non-Islam, tata cara pergaulan warga Negara muslim dengan non-muslim di Negara Islam dan hubungan antara Negara Islam dengan Negara lain dalam keadaan perang dan damai.
* Politik moneter atau keuangan
Politik ini mencakup tentang semua aturan yang mengatur keuangan Negara, perdagangan, kepentingan orang banyak, sumber-sunber vital Negara, dan perbankan.
* Politik perang seta taktik
Politik ini mencakup tentang strategi untuk menghadapi perang, termasuk juga jaminan keamanan terhadap tawanan dan harta rampasan perang serta usaha untuk menuju perdamaian.
C. Fungsi Dan Tujuan Diterapkannya Hukum
* Fungsi diterapkannya hukum
Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi apabila tidak ada siyasah. Segala aspek kehidupan pasti akan berjalan tanpa aturan, tidak ada hukum, peraturan politik dan ekonomi menjadi kacau, rasa tanggung jawab sulit diwujudkan. Dengan demikian maka kemaslahatan umum tidak akan dapat terpenihi. Keamanan agama, bangsa dan negara terancam dan segala macam kejahatan akan timbul. Pada akhirnya musnahlah manusia di muka bumi. Oleh sebab itu umat Islam berkewajiban untuk mewujudkan siyasah dengan baik sehingga terhindar dari berbagai kerusakan di muka bumi ini.
Siyasah yang dibangun dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang islami dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan umat, akan besar hikmahnya bagi nymat islam itu sendiri.
Salah satu fungsi diterapkannya hukum siyasah adalah adanya upaya pengendalian dan pemenuhan aspirasi rakyat yang beragama dapat dipadukan kepentingan yang beragam dapat diakomodasikan sehingga meskipun pada dasarnya manusia itu nenpunyai karakter yang berbeda, akan tetapi atas nama negara mereka dapat dipersatukan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dengan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.
* Tujuan diterapkannya hukum
Secara umum tujuan siyasah adalah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, secara lahir dan batin serta memperoleh ampunan dari ridha Allah SWT.
Secara khusus tujuan siyasah adalah sebagai berikut:
1. Melanjutkan kepemimpinan agama Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat (bukan pengganti sebagai Nabi).
2. Berupaya untuk memelihara keamanan dan ketahanan agama dan negara.
3. Mengupayakan kesejahteraan lahir dan batin dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
4. Mewujudkan dasar-dasar siyasah yang adil dalam seluruh aspek kehidupan umat Islam.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb