Dari Aisyah r.a., Nabi SAW telah bersabda,
مَا
عَمِلَ آدَمِىٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ
إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا
وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللَّهِ
بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
Tidak
ada amalan yang diperbuat manusia pada hari raya qurban yang lebih
dicintai oleh Allah selain menyembelih hewan. Sesungguhnya hewan qurban
itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya,
bulu-bulu dan kuku-kukunya. Sesungguhnya sebelum darah qurban itu
mengalir ke tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah. Maka
tenangkanlah jiwa dengan berqurban. (HR. Tirmidzi)
QURBAN TATA CARA DAN PENGERTIAN
Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak
manusia ada. Ketika putra-putra nabi Adam AS diperintahkan berqurban.
Maka Allah SWT menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan
menolak qurban yang buruk. Allah SWT berfirman:
“Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang
lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang
bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
Qurban lain yang diceritakan dalam
Al-Qur’an adalah qurban keluarga Ibrahim AS, saat beliau diperintahkan
Allah SWT untuk mengurbankan anaknya, Ismail AS. Disebutkan dalam surat
As-Shaaffaat 102: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar”. Kemudian qurban ditetapkan oleh Rasulullah SAW
sebagai bagian dari Syariah Islam, syiar dan ibadah kepada Allah SWT
sebagai rasa syukur atas nikmat kehidupan.
Disyariatkannya Qurban
Disyariatkannya
qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah SWT, bentuk
ketaatan kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan
Allah SWT kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat kehidupan
dengan berqurban yang berarti menyembelih binatang dapat dilihat dari
dua sisi.
Pertama, bahwa penyembelihan binatang tersebut
merupakan sarana memperluas hubungan baik terhadap kerabat, tetangga,
tamu dan saudara sesama muslim. Semua itu merupakan fenomena kegembiraan
dan rasa syukur atas nikmat Allah SWT kepada manusia, dan inilah bentuk
pengungkapan nikmat yang dianjurkan dalam Islam:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS Ad-Dhuhaa 11).
Kedua,
sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah SWT.
Allah menciptakan binatang ternak itu adalah nikmat yang diperuntukkan
bagi manusia, dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih binatang
ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini
merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.
Berqurban
merupakan ibadah yang paling dicintai Allah SWT di hari Nahr,
sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah RA.
bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tidaklah anak Adam beramal di hari
Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban).
Qurban itu akan datang di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya.
Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah
tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban”.
Definisi Qurban
Kata
qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan
diri, sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai
sarana pendekatan diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah
Islam sebagai udhiyah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian,
yaitu kambing yang disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing
yang disembelih di hari ‘Idul Adha. Adapun makna secara istilah, yaitu
binatang ternak yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat
mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu
(Syarh Minhaj).
Hukum Qurban
Hukum qurban menurut jumhur ulama adalah sunnah muaqqadah sedang menurut mazhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah SWT berfirman:
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsaar: 2).
Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa
yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat
shalat kami” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits
lain: “Jika kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara
kalian hendak berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan
digunting)” (HR Muslim).
Bagi seorang muslim atau keluarga
muslim yang mampu dan memiliki kemudahan, dia sangat dianjurkan untuk
berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut pendapat Abu Hanifah, ia
berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak mendapatkan
keutamaan pahala sunnah.
Binatang yang Boleh Diqurbankan
Adapun
binatang yang boleh digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak
(Al-An’aam), unta, sapi dan kambing, jantan atau betina. Sedangkan
binatang selain itu seperti burung, ayam dll tidak boleh dijadikan
binatang qurban. Allah SWT berfirman:
“Dan bagi tiap-tiap umat
telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut
nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada
mereka” (QS Al-Hajj 34).
Kambing untuk satu orang, boleh juga
untuk satu keluarga. Karena Rasulullah SAW menyembelih dua kambing, satu
untuk beliau dan keluarganya dan satu lagi untuk beliau dan umatnya.
Sedangkan unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang, baik dalam
satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
Dari
Jabir bin Abdullah, berkata “Kami berqurban bersama Rasulullah SAW di
tahun Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang” (HR
Muslim).
Binatang yang akan diqurbankan hendaknya yang paling baik, cukup umur dan tidak boleh cacat. Rasulullah SAW bersabda:
“Empat
macam binatang yang tidak sah dijadikan qurban: 1. Cacat matanya, 2.
sakit, 3. pincang dan 4. kurus yang tidak berlemak lagi “ (HR Bukhari
dan Muslim).
Hadits lain:
“Janganlah kamu menyembelih
binatang ternak untuk qurban kecuali musinnah (telah ganti gigi, kupak).
Jika sukar didapati, maka boleh jadz’ah (berumur 1 tahun lebih) dari
domba.” (HR Muslim).
Musinnah adalah jika pada unta sudah
berumur 5 tahun, sapi umur dua tahun dan kambing umur 1 tahun, domba
dari 6 bulan sampai 1 tahun. Dibolehkan berqurban dengan hewan kurban
yang mandul, bahkan Rasulullah SAW berqurban dengan dua domba yang
mandul. Dan biasanya dagingnya lebih enak dan lebih gemuk.
Pembagian Daging Qurban
Orang yang berqurban boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan
telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar
Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah
olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan
telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada
padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah
Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu
bersyukur” (QS Al-Hajj 36).
Hadits Rasulullah SAW:
“Jika di antara kalian berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya” (HR Ahmad).
Bahkan
dalam hal pembagian disunnahkan dibagi tiga. Sepertiga untuk dimakan
dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk tetangga dan teman, sepertiga
yang lainnya untuk fakir miskin dan orang yang minta-minta. Disebutkan
dalam hadits dari Ibnu Abbas menerangkan qurban Rasulullah SAW
bersabda:
“Sepertiga untuk memberi makan keluarganya, sepertiga
untuk para tetangga yang fakir miskin dan sepertiga untuk disedekahkan
kepada yang meminta-minta” (HR Abu Musa Al-Asfahani).
Tetapi
orang yang berkurban karena nadzar, maka menurut mazhab Hanafi dan
Syafi’i, orang tersebut tidak boleh makan daging qurban sedikitpun dan
tidak boleh memanfaatkannya.
Waktu Penyembelihan Qurban
Waktu
penyembelihan hewan qurban yang paling utama adalah hari Nahr, yaitu
Raya ‘Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijah setelah melaksanakan shalat
‘Idul Adha bagi yang melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak
melaksanakan shalat ‘Idul Adha seperti jamaah haji dapat dilakukan
setelah terbit matahari di hari Nahr. Adapun hari penyembelihan menurut
Jumhur ulama, yaitu madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa
hari penyembelihan adalah tiga hari, yaitu hari raya Nahr dan dua hari
Tasyrik, yang diakhiri dengan tenggelamnya matahari. Pendapat ini
mengambil alasan bahwa Umar RA, Ali RA, Abu Hurairah RA, Anas RA, Ibnu
Abbas dan Ibnu Umar RA mengabarkan bahwa hari-hari penyembelihan adalah
tiga hari. Dan penetapan waktu yang mereka lakukan tidak mungkin hasil
ijtihad mereka sendiri tetapi mereka mendengar dari Rasulullah SAW
(Mughni Ibnu Qudamah 11/114).
Sedangkan mazhab Syafi’i dan
sebagian mazhab Hambali juga diikuti oleh Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa hari penyembelihan adalah 4 hari, Hari Raya ‘Idul Adha dan 3 Hari
Tasyrik. Berakhirnya hari Tasyrik dengan ditandai tenggelamnya matahari.
Pendapat ini mengikuti alasan hadits, sebagaimana disebutkan Rasulullah
SAW:
“Semua hari Tasyrik adalah hari penyembelihan” (HR Ahmad
dan Ibnu Hibban). Berkata Al-Haitsami:” Hadits ini para perawinya kuat”.
Dengan adanya hadits shahih ini, maka pendapat yang kuat adalah
pendapat mazhab Syafi’i.
Tata Cara Penyembelihan Qurban
Berqurban
sebagaimana definisi di atas yaitu menyembelih hewan qurban, sehingga
menurut jumhur ulama tidak boleh atau tidak sah berqurban hanya dengan
memberikan uangnya saja kepada fakir miskin seharga hewan qurban
tersebut, tanpa ada penyembelihan hewan qurban. Karena maksud berqurban
adalah adanya penyembelihan hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan
kepada fakir miskin. Dan menurut jumhur ulama yaitu mazhab Imam Malik,
Ahmad dan lainnya, bahwa berqurban dengan menyembelih kambing jauh lebih
utama dari sedekah dengan nilainya. Dan jika berqurban dibolehkan
dengan membayar harganya akan berdampak pada hilangnya ibadah qurban
yang disyariatkan Islam tersebut. Adapun jika seseorang berqurban,
sedangkan hewan qurban dan penyembelihannya dilakukan ditempat lain,
maka itu adalah masalah teknis yang dibolehkan. Dan bagi yang berqurban,
jika tidak bisa menyembelih sendiri diutamakan untuk menyaksikan
penyembelihan tersebut, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas RA:
“Hadirlah ketika kalian menyembelih qurban, karena Allah akan mengampuni kalian dari mulai awal darah keluar”.
Ketika
seorang muslim hendak menyembelih hewan qurban, maka bacalah:
“Bismillahi Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban si Fulan (sebut namanya),
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW:
“Bismillahi
Wallahu Akbar, ya Allah ini qurban dariku dan orang yang belum berqurban
dari umatku” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Bacaan boleh ditambah sebagaimana Rasulullah SAW memerintahkan pada Fatimah AS:
“Wahai
Fatimah, bangkit dan saksikanlah penyembelihan qurbanmu, karena
sesungguhnya Allah mengampunimu setiap dosa yang dilakukan dari awal
tetesan darah qurban, dan katakanlah:” Sesungguhnya shalatku, ibadah
(qurban) ku, hidupku dan matiku lillahi rabbil ‘alamiin, tidak ada
sekutu bagi-Nya. Dan oleh karena itu aku diperintahkan, dan aku termasuk
orang yang paling awal berserah diri” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Berqurban dengan Cara Patungan
Qurban dengan cara patungan, disebutkan dalam hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari:
“Seseorang
di masa Rasulullah SAW berqurban dengan satu kambing untuk dirinya dan
keluarganya. Mereka semua makan, sehingga manusia membanggakannya dan
melakukan apa yang ia lakukan” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).
Berkata Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’ad:
“Di
antara sunnah Rasulullah SAW bahwa qurban kambing boleh untuk seorang
dan keluarganya walaupun jumlah mereka banyak sebagaimana hadits Atha
bin Yasar dari Abu Ayyub Al-Anshari. Disebutkan dalam hadits Rasulullah
SAW.
Dari Abul Aswad As-Sulami dari ayahnya, dari kakeknya,
berkata: Saat itu kami bertujuh bersama Rasulullah saw, dalam suatu
safar, dan kami mendapati hari Raya ‘Idul Adha. Maka Rasulullah SAW
memerintahkan kami untuk mengumpulkan uang setiap orang satu dirham.
Kemudian kami membeli kambing seharga 7 dirham. Kami berkata:” Wahai
Rasulullah SAW harganya mahal bagi kami”. Rasulullah SAW bersabda:”
Sesungguhnya yang paling utama dari qurban adalah yang paling mahal dan
paling gemuk”. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan pada kami.
Masing-masing orang memegang 4 kaki dan dua tanduk sedang yang ketujuh
menyembelihnya, kemudian kami semuanya bertakbir” (HR Ahmad dan
Al-Hakim).
Dan berkata Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘Ilamul
Muaqi’in setelah mengemukakan hadits tersebut: “Mereka diposisikan
sebagai satu keluarga dalam bolehnya menyembelih satu kambing bagi
mereka. Karena mereka adalah sahabat akrab. Oleh karena itu sebagai
sebuah pembelajaran dapat saja beberapa orang membeli seekor kambing
kemudian disembelih. Sebagaimana anak-anak sekolah dengan dikoordinir
oleh sekolahnya membeli hewan qurban kambing atau sapi kemudian
diqurbankan. Dalam hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Abbas,
datang pada Rasulullah SAW seorang lelaki dan berkata:
“Saya
berkewajiban qurban unta, sedang saya dalam keadaan sulit dan tidak
mampu membelinya”. Maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk membeli tujuh
ekor kambing kemudian disembelih”.
Hukum Menjual Bagian Qurban
Orang
yang berqurban tidak boleh menjual sedikitpun hal-hal yang terkait
dengan hewan qurban seperti, kulit, daging, susu dll dengan uang yang
menyebabkan hilangnya manfaat barang tersebut. Jumhur ulama menyatakan
hukumnya makruh mendekati haram, sesuai dengan hadits:
“Siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka dia tidak berqurban” (HR Hakim dan Baihaqi).
Kecuali
dihadiahkan kepada fakir-miskin, atau dimanfaatkan maka dibolehkan.
Menurut mazhab Hanafi kulit hewan qurban boleh dijual dan uangnya
disedekahkan. Kemudian uang tersebut dibelikan pada sesuatu yang
bermanfaat bagi kebutuhan rumah tangga.
Hukum Memberi Upah Tukang Jagal Qurban
Sesuatu
yang dianggap makruh mendekati haram juga memberi upah tukang jagal
dari hewan qurban. Sesuai dengan hadits dari Ali RA:
“Rasulullah
SAW memerintahkanku untuk menjadi panitia qurban (unta) dan membagikan
kulit dan dagingnya. Dan memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi
tukang jagal sedikitpun”. Ali berkata:” Kami memberi dari uang kami” (HR
Bukhari).
Hukum Berqurban Atas Nama Orang yang Meninggal
Berqurban
atas nama orang yang meninggal jika orang yang meninggal tersebut
berwasiat atau wakaf, maka para ulama sepakat membolehkan. Jika dalam
bentuk nadzar, maka ahli waris berkewajiban melaksanakannya. Tetapi jika
tanpa wasiat dan keluarganya ingin melakukan dengan hartanya sendiri,
maka menurut jumhur ulama seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali
membolehkannya. Sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW, beliau
menyembelih dua kambing yang pertama untuk dirinya dan yang kedua untuk
orang yang belum berqurban dari umatnya. Orang yang belum berqurban
berarti yang masih hidup dan yang sudah mati. Sedangkan mazhab Syafi’i
tidak membolehkannya. Anehnya, mayoritas umat Islam di Indonesia
mengikuti pendapat jumhur ulama, padahal mereka mengaku pengikut mazhab
Syafi’i.
Kategori Penyembelihan
Amal yang terkait
dengan penyembelihan dapat dikategorikan menjadi empat bagian. Pertama,
hadyu; kedua, udhiyah sebagaimana diterangkan di atas; ketiga, aqiqah;
keempat, penyembelihan biasa. Hadyu adalah binatang ternak yang
disembelih di Tanah Haram di hari-hari Nahr karena melaksanakan haji
Tamattu dan Qiran, atau meninggalkan di antara kewajiban atau melakukan
hal-hal yang diharamkan, baik dalam haji atau umrah, atau hanya sekedar
pendekatan diri kepada Allah SWT sebagai ibadah sunnah. Aqiqah adalah
kambing yang disembelih terkait dengan kelahiran anak pada hari ketujuh
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Jika yang lahir lelaki
disunnahkan 2 ekor dan jika perempuan satu ekor.
Sedangkan
selain bentuk ibadah di atas, masuk ke dalam penyembelihan biasa untuk
dimakan, disedekahkan atau untuk dijual, seperti seorang yang melakukan
akad nikah. Kemudian dirayakan dengan walimah menyembelih kambing.
Seorang yang sukses dalam pendidikan atau karirnya kemudian menyembelih
binatang sebagai rasa syukur kepada Allah SWT dll. Jika terjadi
penyembelihan binatang ternak dikaitkan dengan waktu tertentu, upacara
tertentu dan keyakinan tertentu maka dapat digolongkan pada hal yang
bid’ah, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah. Apalagi jika
penyembelihan itu tujuannya untuk syetan atau Tuhan selain Allah maka
ini adalah jelas-jelas sebuah bentuk kemusyrikan.
Penutup
Sesuatu
yang perlu diperhatikan bagi umat Islam adalah bahwa berqurban
(udhiyah), qurban (taqarrub) dan berkorban (tadhiyah), ketiganya
memiliki titik persamaan dan perbedaan. Qurban (taqarrub), yaitu upaya
seorang muslim melakukan pendekatan diri kepada Allah dengan amal ibadah
baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya
Allah berfirman (dalam hadits Qudsi): “Siapa yang memerangi kekasih-Ku,
niscaya aku telah umumkan perang padanya. Tidaklah seorang hamba
mendekatkan diri pada-Ku (taqarrub) dengan sesuatu yang paling Aku
cintai, dengan sesuatu yang aku wajibkan. Dan jika hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang sunnah, maka Aku mencintainya.
Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya dimana ia
mendengar, menjadi penglihatannya dimana ia melihat, tangannya dimana ia
memukul dan kakinya, dimana ia berjalan. Jika ia meminta, niscaya Aku
beri dan jika ia minta perlindungan, maka Aku lindungi” (HR Bukhari).
Berqurban
(udhiyah) adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan
mengorbankan sebagian kecil hartanya, untuk dibelikan binatang ternak.
Menyembelih binatang tersebut dengan persyaratan yang sudah ditentukan.
Sedangkan berkorban (tadhiyah) mempunyai arti yang lebih luas yaitu
berkorban dengan harta, jiwa, pikiran dan apa saja untuk tegaknya Islam.
Dalam suasana dimana umat Islam di Indonesia sedang terkena musibah
banjir, dan mereka banyak yang menjadi korban. Maka musibah ini harus
menjadi pelajaran berarti bagi umat Islam. Apakah musibah ini disebabkan
karena mereka menjauhi Allah SWT dan menjauhi ajaran-Nya? Yang pasti,
musibah ini harus lebih mendekatkan umat Islam kepada Allah (taqqarub
ilallah). Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan yang
tidak tertimpa musibah banjir ini dituntut untuk memberikan
kepeduliannya dengan cara berkorban dan memberikan bantuan kepada mereka
yang terkena musibah. Dan di antara bentuk pendekatan diri kepada Allah
dan bentuk pengorbanan kita dengan melakukan qurban penyembelihan sapi
dan kambing pada hari Raya ‘Idul Adha dan Hari Tasyrik. Semoga Allah
menerima qurban kita dan meringankan musibah ini, dan yang lebih penting
lagi menyelamatkan kita dari api neraka.