Anak adalah karunia Allah yang tiada terhingga bagi
semua keluarga. Keberadaannya sangat dinantikan karena akan menjadi penerus
sejarah manusia, dan menjadi salah satu penguat ikatan berumah tangga. Banyak
pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak sangat berharap agar segera
mendapatkannya. Ini menunjukkan demikian penting kehadiran anak bagi semua umat
manusia.
Agama Islam telah memberikan perhatian yang sangat
detail tentang anak, sejak proses konsepsi, kehamilan, kelahiran, sampai
pendidikan ketika anak lahir dan masa tumbuh kembang hingga dewasa. Semua
mendapatkan perhatian dan tuntunan yang teliti. Ini menunjukkan demikian
penting menjaga, merawat, serta mendidik anak sejak awal.
Dalam agama Islam, ada beberapa adab atau tuntunan
dalam menyambut kelahiran bayi. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mendoakan Bayi
Hendaknya orang tua mendoakan untuk kebaikan bagi
bayi yang baru lahir. Bukan hanya orang tua, bahkan orang lain turut mendoakan
ketika mendengar berita kelahiran bayi. Dalam rubrik www.konsultasisyariah.com
dijelaskan, ada beberapa tuntunan doa bagi bayi yang baru lahir.
Pertama, doa memohon keberkahan untuk si anak.
Dari Abu Musa Ra, beliau mengatakan, “Ketika anakku
lahir, aku membawanya ke hadapan Nabi saw. Beliau memberi nama bayiku, Ibrahim
dan men-tahnik dengan kurma lalu mendoakannya dengan keberkahan. Kemudian
beliau kembalikan kepadaku. (HR. Bukhari 5467 dan Muslim 2145).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Rasulullah saw
kepada putra Asma bintu Abu Bakr, yang bernama Abdullah bin Zubair. Sesampainya
Asma hijrah di Madinah, beliau melahirkan putranya, Abdullah bin Zubair. Bayi
ini dibawa ke hadapan Nabi saw. Asma mengatakan, “... Kemudian Nabi saw minta
kurma, lalu beliau mengunyahnya dan meletakkannya di mulut si bayi. Makanan
pertama yang masuk ke perut si bayi adalah ludah Rasulullah saw, kemudian
beliau mendoakannya dan dan memohon keberkahan untuknya” (HR. Bukhari 3909).
Tidak ada teks doa khusus yang isinya permohonan
berkah untuk anak. Dalam Fatawa Syabakah Islam dinyatakan, "Tidak terdapat
dalil – sepengetahuan kami – yang menunjukkan dianjurkannya membaca ayat
Al-Quran atau doa tertentu ketika seorang anak dilahirkan. Baik doa dari
ibunya, bapaknya, atau doa dari orang lain" [Fatawa Syabakah Islam, di
bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, no. 13605].
Karena itu, kita bisa berdoa dengan bahasa apapun
yang kita pahami. Misalnya dengan membaca, “Baarakallahu fiik” (semoga Allah
memberkahi kamu) atau semacamnya.
Kedua, doa memohon perlindungan dari godaan setan.
Salah satu contohnya adalah doa yang dipraktekkan
oleh istri Imran, ibunya Maryam. Allah menceritakan kejadian ketika istri Imran
melahirkan Maryam:
Tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun
berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan
Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah
seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon
perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau
daripada syaitan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran: 36).
Satu hal yang istimewa, karena doa ibu Maryam inilah
ketika Maryam lahir, dia tidak diganggu setan, demikian pula ketika Nabi Isa
dilahirkan. Allah mengabulkan doa ibunya Maryam. Dari Abu Hurairah ra,
Rasulullah saw bersabda, "Setiap bayi dari anak keturunan adam akan
ditusuk dengan tangan setan ketika dia dilahirkan, sehingga dia berteriak menangis,
karena disentuh setan. Selain Maryam dan putranya (HR. Bukhari 3431).
Kemudian Abu Hurairah ra, membaca surat Ali Imran
ayat 36 di atas.
Kita bisa meniru doa istri Imran ini. Hanya saja,
perlu disesuaikan dengan jenis kelamin bayi yang dilahirkan. Karena perbedaan
kata ganti dalam bahasa arab antara lelaki dan perempuan.
Jika bayi yang dilahirkan perempuan, bisa membaca
doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Jika bayi yang lahir laki-laki, bisa membaca doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ بِكَ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu
untuknya dan untuk keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Kita juga bisa memohon perlindungan untuk anak dari
gangguan setan, dengan doa seperti yang pernah dipraktekkan Nabi saw, ketika
mendoakan cucunya Hasan dan Husain.
Ibnu Abbas menceritakan, bahwa Rasulullah saw
membacakan doa perlindungan untuk kedua cucunya,
أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
“Aku memohon perlindungan dengan kalimat-kalimat
Allah yang sempurna, dari semua godaan setan dan binatang pengganggu serta dari
pAndangan mata buruk” (HR. Abu Daud 3371, dan dishahihkan al-Albani).
Kita bisa meniru doa beliau ini, dengan penyesuaian
jenis kelamin bayi.
Jika bayi yang dilahirkan perempuan, bisa dibaca
doa:
أُعِيذُكِ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
Dengan lafazh : U’iidzuki …..
Jika bayi yang lahir laki-laki, bisa membaca doa:
أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
Dengan lafazh : U’iidzuka …..
2. Adzan dan Iqamah
Sang ayah segera mengazani di telinga kanan dan
mengiqamahkan di telinga kiri pada anaknya yang baru lahir. Pemberian adzan dan
iqamah baru lahir ini salah satu tujuannya agar kalimat yang pertama kali
didengar sang bayi adalah kalimat thayyibah dan dijauhkan dari segala gangguan
setan yang terkutuk.
Sebagian ulama menganggap sunnah membacakan adzan
dan iqamah untuk bayi yang baru lahir. Ulama yang berpendapat seperti ini
diantaranya adalah Hasan al-Bashri, Umar bin Abdul ‘Aziz, ulama madzhab Syafi’i
dan Hanbali. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, ulama madzhab Hanbali, termasuk ulama
yang menyunnahkan pembacaan adzan pada bayi yang baru lahir ini.
Ulama kontemporer, Wahbah az-Zuhaily juga
menyunnahkan hal ini dalam kitab al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu, “Disukai bagi
orang tua untuk mengadzani di telinga kanan bayi yang baru dilahirkan dan
diiqamati seperti iqamat untuk shalat di telinga kirinya” (al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu : 4/288).
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnahnya juga
menyunnahkan dibacakan adzan ini, “Termasuk sunnah dilakukan, mengadzani
telinga kanan dan mengiqamahi telinga kiri bayi yang baru dilahirkan, supaya
yang pertama kali didengar telinga anak adalah asma Allah SWT”.
Imam an-Nawawi, tokoh ulama madzhab asy-Syafi’i
dalam al-Majmu’ pada juz 8/443 menulis, “Berkata sekelompok ulama dari
sahahabat-sahabat kami (ulama Syafi’iyyah), disukai untuk diadzani di telinga
kanan dan diiqamahi di telinga kiri bayi yang baru dilahirkan”
Namun sebagian ulama yang lain tidak menyunnahkan
adzan dan iqamat bagi bayi yang baru lahir bahkan menganggapnya sebagai bid’ah.
Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik bin Anas. “Imam
Malik mengingkari perbuatan mengadzani di telinga bayi ketika dilahirkan”
(Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar asy-Syaikh Khalil : 3/321).
Dalam kitab Mausu’ah Fiqh al-Ibadat dijelaskan sikap
Imam Malik, “Imam Malik benci perkara-perkara ini (adzan selain panggilan untuk
shalat) dan menganggapnya sebagai bid’ah” (Mausu’ah Fiqh al-Ibadat : 7/7).
Para ulama yang yang menganggap perbuatan ini
sebagai bid’ah karena dalil atau hadits yang memerintahkan adzan untuk bayi
yang baru lahir tidak kuat, alias hadits dhaif. Oleh karena haditsnya lemah,
maka tidak bisa dipakai sebagai landasan untuk menyunnahkan adzan untuk bayi
yang baru lahir.
Jadi, aktivitas memperdengarkan adzan dan iqamah
untuk bayi yang baru lahir, dari segi hukum fikih termasuk amal yang
diperdebatkan para ulama. Walaupun dari segi manfaat bisa diterima, bahwa
memperdengarkan kalimat tauhid bagi bayi yang baru lahir merupakan bagian dari
pendidikan keimanan untuk anak.
3. Tahnik
Kita perhatikan tindakan yang dilakukan Rasulullah
saw terhadap bayi yang baru saja lahir, sebagaimana penuturan istri beliau,
Aisyah ra:
“Apabila didatangkan bayi yang baru lahir ke hadapan
Rasulullah saw, maka beliau mendoakan barakah kepadanya dan mentahniknya” (HR.
Imam Bukhari no. 5468 dan Imam Muslim no. 2147).
Yang dimaksud dengan tahnik adalah mengunyah kurma
sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuapkan kurma lembut tersaebut ke
mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis
lain yang bisa digunakan untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab
(disenangi) melakukan tahnik pada hari kelahiran anak. Demikian dijelaskan oleh
Imam An Nawawi rahimahullah ketika menerangkan tahnik ini.
Perbuatan Rasulullah saw ini bisa kita lihat dalam
hadits Anas bin Malik ra, “Aku membawa Abdullah bin Abi Thalhah al Anshari
kepada Rasulullah saw pada hari kelahirannya, dan waktu itu beliau menggunakan
mantelnya sedang mengecat untanya dengan ter. Lalu beliau bertanya: “Apakah
engkau membawa kurma?” Aku menjawab: “Ya.”
Kemudian kuberikan pada beliau beberapa buah kurma,
lalu beliau masukkan ke mulut dan mengunyahnya. Kemudian beliau membuka mulut
bayi dan meludahkan kurma itu ke mulut bayi. Mulailah bayi itu menggerak-gerakkan
lidahnya untuk merasakan kurma tersebut. Maka Rasulullah saw bersabda,
“Kesukaan Anshar adalah kurma,” dan beliau memberinya nama Abdullah” (HR. Imam
Bukhari no. 5470 dan Imam Muslim no. 2144).
Hadits Anas bin Malik di atas juga memberikan penjelasan
kepada kita bahwa tahnik dilakukan dengan menggunakan kurma, dan ini yang
utama. Tahnik hendaknya dilakukan oleh orang yang shalih, baik laki-laki
ataupun perempuan. (Syarh Shahih Muslim)
Begitu pula bisa kita simak kisah-kisah tentang
pelaksanaan tahnik yang datang dari sahabat-sahabat yang lainnya. Abu Musa Al
Asy’ari ra menceritakan: Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya
kepada Nabi saw kemudian beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan
kurma (HR. Imam Bukhari no. 5467 dan Imam Muslim no. 2145).
Asma’ binti Abi Bakr ra mengisahkan ketika dia
mengandung anaknya, Abdullah ibnu Az Zubair di Mekkah:
“Aku keluar (untuk hijrah), sementara telah dekat
waktuku melahirkan. Maka aku pergi ke Madinah dan aku singgah di Quba’, serta
melahirkan di sana. Kemudian aku mendatangi Rasulullah saw lalu beliau
meletakkan anakku di pangkuannya. Kemudian beliau meminta kurma, dan
mengunyahnya lalu meludahkannya ke dalam mulut anakku. Maka yang pertama kali
masuk ke perutnya adalah ludah Rasulullah saw. Beliau mentahniknya dengan
kurma, kemudian mendoakannya dan memintakan barakah baginya. Dan dia adalah
bayi pertama yang dilahirkan dalam Islam (dari kalangan Muhajirin)” (HR. Imam
Bukhari no. 5469 dan Imam Muslim no. 2146).
Tujuan tahnik adalah persiapan agar bayi nantinya
mudah untuk merasakan manisnya air susu ibu dan juga agar mulut bayi kuat
sehingga mampu menghisap air susu ibunya. Cara mentahnik bayi adalah dengan
meletakkan sedikit buah kurma di atas jari telunjuk dan dimasukkan ke mulut
bayi serta dengan perlahan-lahan digerakkan ke kanan dan kiri. Ini dilakukan
agar kurma tadi bisa menyentuh seluruh mulut bayi hingga terkena rongga
tekaknya.
4. Aqiqah
Menurut bahasa kata ‘aqiqah berarti memotong.
Dinamakan ‘aqiqah, karena dipotongnya leher binatang. Ada yang mengatakan bahwa
aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena
lehernya dipotong. Ada pula yang mengatakan bahwa ‘aqiqah itu asalnya ialah :
rambut yang terdapat pada kepala si bayi ketika ia keluar dari rahim ibu,
rambut ini disebut ‘aqiqah, karena ia mesti dicukur.
Hukum aqiqah adalah sunnah (muakkad) sesuai pendapat
Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafi′i dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad,
Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama ahli fiqih (fuqaha).
Dalil aqiqah ini dari Samurah bin Jundab dia berkata
: Rasulullah saw bersabda : "Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya
yang pada hari ketujuh disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur
rambutnya" (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad).
Jumlah kambing aqiqah bayi bisa dilihat dari hadits
Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw telah bersabda : "Bayi laki-laki diaqiqahi
dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing" (HR Ahmad
Tirmidzi, Ibnu Majah).
5. Memberi Nama yang Baik
Salah satu kewajiban orang tua adalah memberi nama
yang baik untuk anaknya. Nama anak merupakan doa dan harapan dari orang tua.
Memberi nama tidak boleh sembarangan, dengan nama-nama yang sekedar indah atau
unik, namun harus mengandung makna yang baik.
Sahabat Sahl bin Sa’d ra menceritakan, didatangkan
Al Mundzir putra Abu Usaid ke hadapan Rasulullah saw ketika dia dilahirkan.
Maka Nabi saw meletakkannya di atas pangkuannya, sedangkan Abu Usaid duduk.
Pada waktu itu Rasulullah saw sedang sibuk sehingga Abu Usaid memerintahkan
agar anaknya dibawa kembali, maka anak itu diangkat dari pangkuan Rasulullah
saw dan mereka pun mengembalikannya pada Abu Usaid.
Ketika Rasulullah saw selesai dari kesibukannya,
beliau bertanya, “Di mana bayi tadi?” Abu Usaid pun menjawab: “Kami membawanya
kembali, ya Rasulullah!” Lalu beliau bertanya, “Siapa namanya?” Jawab Abu
Usaid: “Fulan, ya Rasulullah!” Beliau pun bersabda, “Tidak, akan tetapi namanya
Al Mundzir.” Kemudian pada hari itu beliau memberinya nama Al Mundzir (Diriwayatkan
oleh Imam Muslim no. 2149).
Menurut rubrik www.konsultasisyariah.com, memberi
nama anak bisa dilakukan pada hari kelahirannya, hari ketiga atau hari ketujuh.
Ciri nama yang baik adalah enak didengar, mudah diucapkan oleh lisan,
mengandung makna yang mulia dan sifat yang benar dan jujur, jauh dari segala
makna dan sifat yang diharamkan atau dibenci agama.
Dianjurkan menamai anak laki-laki dengan nama Abdu
(penghambaan) yang disambungkan dengan asma’ul husna, seperti Abdul ‘Aziz,
Abdul Malik, dan sebagainya. Yang sangat dianjurkan adalah Abdullah atau
Abdurrahman, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya nama yang paling
dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” (HR. Muslim).
Baik juga menamai anak dengan nama-nama Nabi dan
Rasul. Nabi saw pernah menamai sebagian sahabat dengan nama Nabi dan Rasul.
Baik pula menamai anak dengan nama orang-orang salih, seperti dengan nama
sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin.
Yang dilarang adalah menamai anak dengan nama yang
menunjukkan penghambaan kepada selain Allah, seperti Abdul Ka’bah, Abdusy
Syams, Abdul Husain dan sebagainya. Tidak boleh juga memberi nama anak dengan
nama-nama yang khusus bagi Allah, seperti Ar Rahman, Al Khaaliq, Ar Rabb dan
sebagainya. Tidak boleh menamai anak dengan nama-nama patung atau berhala yang
disembah selain Allah, seperti Latta, Uzza, Hubal dan sebagainya.
6. Mencukur Rambut Bayi
Pada hari ketujuh kelahiran bayi, disunnahkan untuk
memotong rambut si bayi. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasululah SAW
ketika cucunya Hasan dan Husain lahir. Rasulullah saw memerintahkan untuk
memotong rambut dan menimbangnya ukuran perak, kemudian disedekahkan kepada
fakir miskin.
Menurut rubrik www.konsultasisyariah.com, salah satu
dalil yang biasa dijadikan acuan dalam hal ini adalah hadits dari Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi saw mengaqiqahi Hasan dengan kambing, dan
beliau menyuruh Fatimah untuk mencukur rambutnya. “Cukur rambutnya, dan
bersedekahlah dengan perak seberat rambut itu.”
Fatimah pun menimbang rambut itu, dan ternyata
beratnya sekitar satu dirham atau kurang dari satu dirham. (HR. Turmudzi 1519,
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanaf 24234, dishahihkan al-Hakim dalam Mustadrak
7589 dan didiamkan azd-Dzahabi).
Catatan: satu dirham setara dengan 2,975 gr perak.
Dalam kitab Tuhfatul Maudud, Ibnul Qoyim menyebutkan
beberapa riwayat dan keterangan ulama yang menganjurkan bersedekah dengan perak
seberat rambut bayi. Pertama, Imam Ahmad mengatakan, “Sesungguhnya Fatimah ra
mencukur rambut Hasan dan Husain, dan bersedekah dengan wariq (perak) seberat
rambutnya.
Kedua, Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha’,
dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, beliau mengatakan, “Fatimah menimbang
rambut Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum, dan beliau bersedekah dengan
perak seberat rambut itu”. Ketiga, Imam Malik juga menyebutkan dalam
al-Muwatha’ dari Muhammad bin Ali bin Husain, bahwa beliau mengatakan, “Fatimah
bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimbang rambut Hasan dan
Husain, kemudian beliau bersedekah dengan perak seberat rambut itu”.
Di masa terdahulu, perak termasuk mata uang yang
berlaku di masyarakat dan mudah didapatkan. Karena itu, sedekah pada masa ini
tidak harus berujud perak. Boleh diberikan dalam bentuk uang, namun mengacu
pada harga perak. Caranya, timbang rambut bayi. Jika tidak memungkinkan, karena
kesulitan mendapatkan timbangan benda ringan, cukup diprediksi saja. Perkirakan
berapa gram berat rambut itu. Misalnya 2 gr.
Cari informasi harga perak/gr saat ini. Misal:
12.000. Kalikan seberat prediksi berat rambut bayi. (2 gr x Rp 12.000 = Rp
24.000). Sedekahkan uang Rp 24.000 kepada orang miskin siapapun yang ada di
sekitar kita. Boleh juga ditambahi atau digenapkan.
Rujukan :
www.konsultasisyariah.com