SHALAT-SHALAT SUNNAT YANG DITUNAIKAN SEHARI-HARI
[a]. Shalat-Shalat Sunnat Rowatib
Sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Tidaklah seorang muslim mengerjakan shalat karena
Allah setiap hari 12 rakaat shalat sunnah karena Allah, kecuali Allah
akan membangunkan sebuah rumah baginya di Surga ataudibangunkan baginya
sebuah rumah di Surga” [HR. Muslim no. 728]
Rinciannya sebagai berikut:
Sholat empat rakaat sebelum shalat dzuhur dan dua
rakaat setelahnya, dua rakaat setelahshalat maghrib, dua rakaat setelah
shalat isya dan dua rakaat sebelum shalat subuh.
namun untuk rawatib zhuhur ada riwayat lain :
“Barang siapa yang sholat 4 rakaat (Qobliyah) sebelum Dzuhur dan 4 rakaat (Ba’diyah)
sesudahnya, maka diharamkan baginya api neraka”.
(SHAHIH. HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, di Shahihkan oleh
Albani)
Wahai saudaraku tercinta…“Tidakkah engkau mempunyai rasa rindu untuk dibangunkan rumah di Surga?!!”
Peliharalah nasehat yang datang dari Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tetap mengerjakan shalat sunnah
sebanyak 12 rakaat.
[b]. Shalat Dhuha
Shalat ini sebanding dengan 360 shadaqah. Hal ini
bisa terwujud karena di dalam tubuh manusia ada 360 sendi
(persendian)[1] setiap sendi tersebut membutuhkan shadaqah setiap
harinya[2]. Shadaqah yang diperuntukkan pada persendian sebagai
perwujudan rasa syukur atas nikmat, untuk mencukupi semuanya maka dua
rokaat dari shalat dhuha dapat sebagaisarananya.
Faedahnya
Sebagaimana terdapat dalam shohih Muslim bahwa Rosul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Pada setiap pagi, pada tiap-tiapp ruas persendian
[3] di antara kalian memiliki hak,yaitu shadaqoh. Setiap tasbih
(subhanallah) adalah shadaqoh, setiap tahmid adalah shadaqoh, setiap
tahlil adalah shdaqoh, setiap takbir adalah shadaqoh, amar ma’ruf
termasuk shadaqoh, mencegah dari kemungkaran termasuk shadaqoh, maka
yang mencukupi demikian itu adalah shalat dhuha dua rokaat.” [HR. Muslim
dalam kitab Shalat al-
Mufasirin wa Qashriha, bab Istihbab Shalat adh-Dhuha no. 720. Pent]
Dan penjelasan yang lain ada pada hadits dari Abu HurairAh Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya
ia berkata :
“Aku telah diberikan nasehat oleh kekasihku
(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)dengan tiga hal, yaitu
berpuasa tiga hari (13-15), pada setiap bulan (Hijriyyah), duarakaat
shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum aku hendak tidur. [HR. Bukhari,
Kitab Ash-Shaum, bab: Puasa al-Biedh tanggal 13,14, dan 15 tiap bulan
no. 1981; dan Muslim dalam kitab Shalatu Musafirin, bab: Dianjurkannya
shalat Dhuha, no: 721. Pent]
Waktunya sholat dhuha mulai terbitnya matahari dari ¼
jam setelah terbitnya mataharisampai kurang lebih ¼ jam sebelum shalat
zhuhur.
Waktu yang paling utama untuk menunaikannya adalah ketika terik matahari mulai makinmenyengat.[4]
Jumlah raka’at nya paling sedikit dua rakaat.
Sedangkan jumlah maksimalnya 12 rakaat danada pendapat lain bahwa jumlah
maksimal raka’at dhuha tidak ada batasannya.
[c]. Shalat Sunnat Sebelum Shalat Ashar
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Semoga Allah memberi rahmat kepada seseorang yang
shalat sunnah sebelum Ashar empatraka’at” [HR. Ahmad 2/117, Abu Dawud
dalam kitab At-Tathawwu’ bab Shalat sebelum Ashar no. 1270, Tirmidzi
dalam kitab As-Shalah bab Riwayat tentang Empat Raka’at Sebelum Ashar,
no. 430. Pent]
[d]. Shalat Sunnat Sebelum Shalat Maghrib
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Shalatlah sebelum shalat Maghrib”. Pada ucapan yang
ketiga beliau Shalallahu ‘alaihiwa sallam menambahkan: “Bagi siapa yang
mau.” [HR. Bukhary no.1183 dan no. 7368. Pent]
[e]. Shalat Sunnat Isya’
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”Di antara dua adzan ada shalat, diantara dua adzan
ada shalat.” Pada ucapan ketiga, beliau bersabda: “Bagi siapa yang mau.”
[HR. Bukhary Kitab Adzan bab Diantara dua adzan ada shalat no. 624, 627
dan Muslim kitab Shalatu Musafirin, bab , bab: Diantara dua adzan ada
shalat no. 838]
Imam Nawawy berkata: “Yang dimaksud dengan dua adzan adalah adzan dan iqamah”
_________
Foot Note
[1]. Lihat Shahih Muslim no. 1007 dalam kitab az-Zakat bab: Bayaanu anna Ismash Shadaqah Yaqa’u Ala Kulli Nau’in Minal Ma’ruuf.
[2]. Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu ‘anhu
yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Manusia memiliki tiga ratus enam puluh sendi dalam tubuhnya.
Hendaknya ia bersedekah untuk semua sendi tersebut.” Diriwayatkan oleh
Abu Dawud dalam kitab Al Adab bab Imathatuk Adza ‘Anith- Thariq no. 5242
dan Ahmad 5/354 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud
3/984, Irwa’ul Ghalil 2/213.
[3]. aslinya tulang jari jemari dan telapak tangan
kemudian di pergunakan buat seluruh tulang-tulang badan dan
persendiannya, lihat syarah An-Nawawi atas Shahih Muslim 5/272.
[4]. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Shalat orang-orang yang khusyu’ beribadah adalah
ketika anak-anak unta (fishal) kepanasan” Riwayat Muslim dalam kitab
Shalat Mufasirin, bab Shalat Al-Awwabin hina Tarmidhul Fishal no. 748.
[Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia
Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan,
Penerjemah Zaki Rachmawan]
————————–
SUNNAH-SUNNAH DALAM SHALAT MALAM
Oleh : Syaikh Khalid al Husainan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah
puasa bulan muharram dan sebaik-baikshalat setelah shalat wajib adalah
shalat lail.” [Hadits Riayat. Muslim no. 1163]
[a]. Sebaik-baik jumlah raka’at dalam shalat lail
adalah sebelas raka’at atau tiga belas raka’at dengan pengerjaan shalat
yang lama. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat lail sebanyak 11 raka’at, maka yang demikian itu adalah shalat beliau” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1147]
Riwayat yang lain menyebutkan.
“Rasulullah shalat malam sebanyak 13 raka’at” [Hadits Riwayat. Bukhari no. 1138dan Muslim no. 764]
[b]. Disunnahkan bagi orang yang mengerjakan shalat
lail untuk bersiwak dan membacaayat-ayat terakhir dari surat Ali Imran
mulai dari firman Allah “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal” [ Ali Imran : 190]
………..Dibaca sampai akhir surat
[c]. Disunnahkan kepada orang yang mengerjakan shalat
malam untuk berdoa dengan doayang shahih yang diajarkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam“Ya Allah, bagiMu segala puji, Engkaulah
Penegak langit dan bumi dan segala isinya. BagiMu segala puji, milikMu
kerajaan langit dan bumi serta segala isinya. bagiMu segala
puji (Engkau) Pemberi cahaya langit dan bumi (serta
segala isinya). bagiMu segala puji, Engkau penguasa langit dan bumi.
bagiMu segala puji Engkau lah Yang Mahabenar, janji-Mu itu benar adanya
dan pertemuan dengan-Mu itu benar adanya. FirmanMu itu benar, surga itu
benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Nabi Muhammad itu benar
(utusanMu), kamat itu benar adanya. Ya Allah, kepadaMu aku bertawakal,
kepadaMu aku kembali, kepadaMu aku mengadu dan kepadaMu aku berhukum.
Ampunilah dosaku di masa lalu, masa
yang akan datang, yang tersebunyi serta yang nampak
(Karena Engkau adalah Maha Mengetahui itu daripada aku). Engkau lah Yang
terdahulu dan Yang terakhir (Engkau Tuhanku) dan tidak ada Tuhan
kecuali Engkau atau tidak ada Tuhan (bagiku) kecuali Engkau” [Hadits
Riwayat. Bukhari no. 1120, 6317, 7385 dan Muslim no. 2717]
[d]. Sunnah memulai shalat lail dengan dua raka’at
yang ringan (pendek). Hal itu dilakukan hingga datangnya semangat untuk
memanjangkan raka’atnya setelah dua rakaat yang pendek tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila salah seorang diantara kalian mendirikan
shalat lail hendaklah membuka shalatnya dengan shalat dua raka’at yang
ringan (surat-surat yang dibaca pendek. Pent)
[Hadits Riwayat. Muslim no. 768]
[e]. Merupakan sunnah, memulai shalat malam dengan doa yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ya Allah, Rabb Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai
Pencipta langit dan bumi. Wahai Rabb yang mengetahui yang ghaib dan
nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan)apa yang mereka
(orang-orang Nasrani dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada
kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau
menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau
kehendaki” [Hadits Riwayat. Muslim no. 770, Abu Dawud no. 767, Ibnu
Majah no. 1357]
[f]. Disunnahkan untuk mempanjangkan shalat malam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Shalat apakah yang paling baik?”
Rasulullah menjawab : “Yang panjang qunutnya (lama berdirinya)” [Hadits Riwayat. Muslim no.756]
Yang dimaksud qunut[1] adalah berdiri yang lama
[g]. Disunnahkan untuk bertaawudz (minta perlindungan kepada Allah) ketika membaca ayattentang adzab dengan ucapan:
“Aku berlindung kepada Allah dari Adzab Allah”
Dan memohon rahmat kepada Allah ketika membaca ayat tentang permohonan dengan ucapan
“Ya Allah aku meminta kepadaMu dari karuniaMu”
Dan bertasbih ketika membaca ayat-ayat yang mengandung pujian tentang keMahasucian Allah.
Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
(ayat) dengan tartil apabila beliau melewati satu ayat tasbih maka
beliaupun membaca tasbih. Apabila melewati ayat permohonan(tentang
rahmat,-ed) maka beliaupun memohon. Dan apabila melewati ayat memohon
perlindungan, maka beliaupun memohon perlindungan (bertaawudz)…” [Hadits
Riwyat. Muslim no. 772]
Sebab-sebab agar mendapatkan kemudahan untuk shalat malam
[a]. Berdoa
[b]. Menjauh kan (diri) dari begadang
[c]. Tidur di siang harinya
[d]. Meninggalkan kemaksiyatan
[e]. erkeinginan diri yang kuat untuk melakukan shalat malam
_________
Foot Note
[1]. Qunut dalam hadits itu memiliki banyak arti
berdasarkan banyak riwayat. Dalam Hadyus Saari Muqaddimah dari Fathul
Baari oleh Ibnu Hajar hal. 305 (Cet. Daar Abi Hayyaan) pasal Qaf Nun
disebutkan tentang makna qunut antara lain do’a, berdiri, tenang, diam,
ketaatan, shalat, kekhusu’an, ibadah, dan memperpanjang berdiri. Pent.
Disalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum
Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari
Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan]
———————————————————————————
BENTUK-BENTUK WITIR DAN JUMLAH RAKA’ATNYA
Oleh : Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qathani.
Witir memiliki jumlah raka’at dan bentuk-bentuk yang bermacam-macam sebagai berikut.
[a]. Sebelas Raka’at, Dengan Salam Pada Setiap Dua Raka’at Dan Berwitir Satu Raka’at.
Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang
menceritakan : “Rasulullah biasanya shalat malam sebelas raka’at,
berwitir dari shalat itu dengan satu raka’at” Dalam riwayat lain :
“Rasulullah biasanya shalat antara usai shalat Isya –yakni yang disebut
sebagai atamah- hingga fajar sebanyak sebelas raka’at, mengucapkan salam
antara dua rak’aat, dan berwitir satu raka’at” [1]
[b]. Tigabelas Raka’at, Setiap Dua Raka’at
Salam, Dan Berwitir Satu Raka’at Dasarnya adalah hadits Abdullah bin
Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan cara shalat Nabi. Dalam
hadits itu tercantum : “… Maka akupun berdiri di sebelah kiri beliau.
Tiba-tiba beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas kepalaku, dan
memegang telingaku serta memutar tubuhku hingga berada di sebelah
kanannya, kemudian beliau shalat dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at,
dua raka’at, dua raka’at dan dua raka’at, kemudian beliau melakukan
witir, lalu berbaring hingga datang muadzin. Setelah muadzin datang,
beliau bangkit dan shalat dua raka’at ringkas, kemudian baru beliau
keluar menuju jama’ah dan shalat shubuh” [2]
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘anhuma bahwa ia menceritakan : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melakukan shalat malam tiga belas raka’at, kemudian baru
keluar untuk shalat shubuh. [3]
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Radhiyallahu ‘anhu
diriwayatkan bahwa ia pernah berkata : “Aku betul-betul memperhatikan
shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari. Beliau
shalat dua raka’at ringkas, kemudian shalat dua raka’at yang panjang
sekali, panjang sekali, panjang sekali, kemudian shalat lagi dua
raka’at, namun tidak sepanjang yang pertama. Kemudian shalat lagi dua
raka’at, juga tidak sepanjang dua raka’at yang sebelumnya. Kemudian
shalat lagi dua raka’at namun juga tidak sepanjang dua rakaat
sebelumnya. Kemudian shalat lagi dua raka’at, namun tidak sepanjang dua
raka’at sebelumnya. Kemudian baru beliau melakukan witir. Jumlah
semuanya tiga belas raka’at” [4]
[c]. Tiga Belas Raka’at, Dengan Salam Pada Tiap Dua Raka’at, Dan Berwitir Lima Raka’at Sekaligus
Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang
menceritakan : “Rasulullah apabila shalat malam, melakukannnya tiga
belas raka’at. Dari semua itu beliau berwitir lima raka’at, hanya duduk
di akhirnya saja” [5]
[d]. Sembilan Raka’at Hanya Duduk Di Raka’at Kedelapan, Kemudian Langsung Masuk Raka’at Kesembilan.
Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang
menceritakan : “Kami biasa menyiapkan siwak dan air bersuci beliau.
Allah membangunkan pada waktu yang Allah kehendaki di waktu malam.
Beliau bersiwak dan berwudhu, lalu shalat sembilan raka’at, hanya duduk
di raka’at yang kedelapan. Lalu berdzikir kepada Allah, berdo’a
kepadaNya (tahiyyat pertama), kemudian baru bangun dan tidak mengucapkan
salam. Kemudian beliau bangkit dan melakukan raka’at kesemblian.
Setelah itu baru beliau duduk dan berdzikir, bertahmid dan berdo’a
kepada Allah (tahiyyat kedua), kemudian salam dengan suara yang dapat
kami dengar” [6]
[e]. Tujuh Raka’at Dengan Tanpa Duduk Kecuali Diakhirnya.
Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang
tercantum di dalamnya : “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sudah berusia lanjut dan mulai gemuk, beliau shalat dengan witir
tujuh raka’at” [7]
Dalam riwayat lain : “Hany duduk di akhirnya saja “ [8]
[f ]. Tujuh Raka’at Dengan Hanya Duduk Pada Raka’at
Yang Keenam Dasarnya adalah hadits Aisyah Radhiyalahu ‘anha, yang
menceritakan : “Kami biasa mempersiapkan siwak dan air wudhu Rasulullah.
Lalu beliau bangun dalam waktu yang Allah kehendaki di malam hari.
Kemudian beliau bersiwak dan berwudhu, baru kemudian shalat tujuh
raka’at, hanya duduk di raka’at keenam, lalu duduk dan berdzikir kepada
Allah
serta berdo’a” [9]
[g]. Lima Raka’at Dengan Hanya Dududk Diraka’at Terakhir
Dasarnya adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Witir itu hukum yang berlaku bagi setiap muslim.
Barangsiapa yang suka melakukan witir lima raka’at, hendaknya ia
melakukannya. Dan barangsiapa suka melakukan witir 3 raka’at maka
lakukanlah. Dan barangsiapa yang suka berwitir satu raka’at hendaknya ia
melakukannya” [10]
Telah diriwayatkan dengan shahih dari hadits Aisyah
Radhiyallahu anha, bahwa bentuk shalat semacam itu dilakukan secara
sekaligus dengan hanya duduk di raka’at kelima saja. Dalam hadits itu
tercantum : “Dalam shalatnya itu beliau berwitir lima raka’at, dengan
hanya duduk di raka’at terakhirnya” [11]
[h]. Tiga Raka’at Dengan Salam Setelah Dua Raka’at, Kemudian berwitir Satu Raka’at
Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menceritakan :
“Nabi biasa memisahkan antara raka’at genap dan ganjil dengan salam yang dapat kami dengar” [12]
Telah diriwayatkan dengan shahih dari Abdullah bin
Umar secara mauquf. Dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar biasa melakukan
witir dengan salam antara dua raka’at pertama dengan satu raka’at
terakhir, sehingga beliau sempat memerintahkan beberapa hal dari
kebutuhannya [13] Hadits mauquf itu bisa menguatkan hadits marfu’.
Penulis sendiri pernah mendengar guru kita Imam Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz Rahimahullah tentang Witir tiga raka’at, bahwa itu dilakukan
dengan dua kali salam : “Itu lebih utama, bagi orang yang ingin shalat
tiga raka’at, dan inilah yang mendekati kesempurnaan” [14]
[I ]. Tiga Raka’at Secara Langsung, Dengan Hanya Duduk Diraka’at Terakhirnya
Dasarnya hadits Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu yang
tercantum di dalamnya : “Barangsiapa yang ingin berwitir tiga raka’at,
hendaknya ia melakukannya” [15]
Juga hadits Abdullah bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu witir membaca ”
Sabbihis Marabbikal A’la”, pada raka’at kedua membaca ” Qul Yaa Ayyuhal
Kaafirun”. Dan pada rakaat ke tiga membaca ” Qul Huwallahu Ahad” Usai
salam, beliau mengucapkan ” Subhanal Malikil Quddus” tiga kali [16]
Akan tetapi tiga rakaat itu beliau lakukan sejaligus, dengan hanya satu kali tasyahhud di akhirnya.
Karena kalau dilakukan degan dua kali tasyahud, akan mirip dengan shalat Maghrib [17]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melarang shalat sunnah diserupakan dengan shalat Maghrib [18],
berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam diriwayatkan bahwa beliau bersabda : “Janganlah
kalian berwitir tiga raka’at. Berwitirlah lima rakaat atau tujuh
raka’at. Jangan serupakan dengan shalat Maghrib. [19]
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahulah menggabungkan antara
hadits-hadits dan riwayat yang membolehkan witir tga rakaat dalam
penafsiran bahwa ketiga rakaat itu dalam shalat hingga akhir, dengan
hadits-hadits yang melarang witir tiga raka’at dalam penafsiran bahwa
itu dilakukan dengan dua kali tasyahud, hingga menyerupai shalat
Maghrib” [20]
Di antara dalil yang munnjukkan. Witir tiga rakaat
adalah hadits Al-Qasim dari Abdullah bin Umar, bahwa ia berkata :
Rasulullah bersabda : “Shalat pada waktu malam itu dua-dua raka’at. Bila
engkau hendak menyelesaikannya, hendaknya shalat satu raka’at itu bisa
menjadi witir dari shalat yang sudah kamu lakukan”.
Al-Qasim menyatakan : “Kami sendiri pernah melihat
banyak orang semenjak kami nalar, yang melakukan witir tiga raka’at.
Sesungguhnya masalah ini cukup luas. Aku kira tidak ada yang salah dari
semua cara itu. [21]
[j ]. Satu Raka’at
Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu
‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Witir adalah satu raka’at di akhir malam” [22]
Dari Abu Mijlaz diriwayatkan bahwa ia menceritakan :
“Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tentang
witir. Beliau menjawab : “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Satu raka’at di akhir malam”. Aku juga
pernah bertanya kepada Ibnu Umar. Beliau menjawab : “Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Satu raka’at di
akhir malam” [23]
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa itu merupakan dalil
sahnya witir dengan satu raka’at, dan dianjurkan untuk dilakukan di
akhir malam” [24] Penulis sendiri pernah mendengar Imam Abdul Aziz bin
Baz menyatakan : “Akan tetapi semakin banyak jumlah raka’atnya, semakin
baik. Namun bila hanya melakukan satu raka’at saja, juga tidak makruh”
[25]
Di antara yang menunjukkan bahwa witir satu raka’at
itu boleh adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, di situ
tercantum.
“Barangsiapa yang suka berwitir satu raka’at, hendaknya ia melakukannya” [26]
__________
Foot Note
[1]. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 736
[2]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Witr, bab : Riwayat Tentang
Witir, no. 992, demikian juga beberapa jalur riwayat lain, no. 117, 138,
6316. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab :
Shalat Nabi dan Doa Beliau pada Malam Hari, no. 182, 763
[3]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab Shalat Nabi dan Do’a Beliau di Malam Hari, no. 764
[4]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul Musafirin, bab Shalat Nabi dan Do’a Beliau di Malam Hari, no. 765
[5]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul
Musafirin, bab Shalat Malam dan Jumlah Raka’at Nabi pada Malam Hari,
bahwa witir itu Satu Raka’at, no. 737.
[6]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul
Musafirin, bab : Jami’u Shalati no. 746 [7]. Diriwayatkan oleh Muslim
dalam kitab Shalatul Musafirin, bab : Jami’u Shalati no. 746 dan ini
adalah bagian dari hadits itu.
[8]. Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab Qiyaamul
Lail dan Tathawwu di Siang Hari, bab : Witir Tujuh Raka’at, no. 1718,
dishahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih An-Nasa’i I : 375. Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dan Ahmad VI : 290 dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu
‘anha dengan lafazh : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berwitir tujuh atau lima raka’at, tidak memisahkannya dengan ucapan atau
salam. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dalam kitab
Iqamatush Shalah, bab : Riwayat tentang witir, lima, tujuh atau sembilan
raka’at no. 1192, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu
Majah I : 197
[9]. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya
{ihsan] dengan no. 2441. Al-Arnaaut menyatakan dalam catatan kaki Ibnu
Hibban VI : 195 : “Sanadnya shahih berdasarkan persyaratan Al-Bukhari
dan Muslim, lafazhnya adalah lafazh Muslim. Diriwayatkan juga oleh Ahmad
yang senada dengan itu I : 54
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan no. 1442.
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dengan no 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dengan no 1192. Dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya
[ihsan] dengan no. 670. Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al- Mustadrak I
: 302-303
[11]. Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 737
[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban [Ihsan} dengan
No. 2433,2434,2435. Diriwayatkan juga oleh Ahmad II : 76 dari itab bin
Ziyaad. AL-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan dalam Fathul Baari II : 482
:"Sandanya kuat". Al-Albani Rahimahullah menyatakan : "Hadits ini
memiliki riwayat penguat yang marfu'. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha
diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melakukan
witir dengan memisahkan antara dua raka'at dengan satu raka'at".
Sanadnya Shahih, berdasarkan persyaratan Al-Bukhari dan Muslim. Beliau
juga menisbatkan hadits ini kepada Ibnu Abi Syaibah. Lihat Irwaaul
Ghalil II : 150.
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab
Al-Witr, bab : Riwayat Tentang Witir, no. 991. Diriwayatkan juga dalam
Al-Muwatha’ Imam Malik I : 125.
[14] Penulis mendengarnya secara langsung ketika beliau menjelaskan Ar-Raudhul Murbi II : 187 tertanggal 1:11: 1419H.
[15] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan no. 1422.
Diriwayatkan oleh An-Nasa’I dengan no. 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dengan no. 1192. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya
dengan no. 670. Diriwayatkan oleh Al-Hakim I : 302
[16] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab
Qiyamullail dan Shalat Sunnah Siang, bab Ikhtilafin naqilan li khabar
Ubay Ibnu Ka’b fii witri 1201 dan dishahihkan dalam Shahih Sunnan
An-Nasa’i oleh Al-Albani 1/372, dan lihat Nailul Authar 2/211, dan lihat
Fathul Bari karya Ibnu Hajar ada syawahid disana 2/481 dan Nailul
Authar Asy-Syaukani 2/212.
[17] Saya dengan ini dari Imam Abdul Aziz Ibnu Baz
ketika mensyarah Ar-Raudh Al-Murbi’ 2/188 dikala membasah witir 3
rakaat dengan satu salam, beliau berkata : “Namun jangan diserupakan
dengan Maghrib, langsung saja”.
[18] Lihat Asy-Syarh Al-Mufti Al-’Alamah Ibn Utsaimin 3/21.
[19] Ibnu Hibban (Al-Ihsan] 2429, Ad-Daruquthni 2/24,
Al-Baihaqi 3/31, Al-Hakim menshahihkan dan disetujui Adz-Dzahabi 1/304,
Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath 2/481, isnadnya sesuai syarat Syaikhan
berkata dalam At-Talkish 2/14 no. 511 isnadnya semuanya tsiqat dari
tidak mengapa pemauqufan orang yang mengnggapnya mauquf.
[20] Lihat Fathul Baari Syarah dari Shahih
Al-Bukhari, oleh Ibnu Hajar II :481 dan juga Nailul Authar oleh
Asy-Syaukani II : 214.
[21] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan ini lafazhnya dengan no. 993.
Diriwayatkan oleh Muslim dengan no. 743 dan telah ditakhrij sebelumnya.
[22]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalatul
Musafirin, bab : Shalat Malam Itu Dua-dua Raka’at, Dan Witir Itu Satu
Raka’at di Akhir Malam no. 752
[23]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab dan bab yang sama sebelumnya no. 753
[24] Syarah Muslim oleh An-Nawawi VI : 277
[25] Penulis mendengarnya sendiri dari penjelasan Syaikh terhadap Ar-Raudhul Murbi’ II: 185
[26] Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan no. 1422.
Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dengan no 1712. Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah no. 1190
[Disalin dari Kitab Shalatut Tathawwu' Mafhumun, wa
Fadhailun, wa Aqsamun, wa Anwa'un, wa Adabun Fi Dhauil Kitabi was
Sunnah, edisi Indonesia Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaannya, oleh Dr
Said bin Ali bin Wahf Al-Qathani, Penerbit Darul Haq]
———————————————————————————–
SUNAT RAWATIB DAN PENEGASAN SHALAT DUA RAKA’AT FAJAR.
Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam.
Shalat fardhu memiliki sunat-sunat rawatib, yang
disebutkan dalam As-Sunnah yang shahih dan suci, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun pengakuan dari pembawa syari’at.
Shalat sunat rawatib ini mempunyai faidah yang besar
dan pahala yang agung, nerupa tambahan kebaikan, ketinggian derajat,
penghapusan keburukan, menambal kekosongan dan menyempurnakan
kekurangannya. Karena itu harus ada perhatian terhadap shalat rawatib
ini dan menjaganya ketika berada di tempat. Adapun ketika dalam
perjalanan, tidak pernah disebutkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adanya satu shalat rawatib kecuali dua rakaat fajar. Beliau
tidak pernah meninggalkannya, baik ketika menetap maupun ketika dalam
perjalanan.
“Dari Abdullah bin Umar Radhyallahu ‘anhuma, dia
berkata, ‘Aku pernah shalat dua rakaat sebelum Zhuhur bersama Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa sallam, dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah
Jum’at, dua rakaat sesudah Maghrib dan dua rakaat setelah Isya’”
adapula riwayat yang lain:
“Barang siapa yang sholat empat rakaat sebelum Dzuhur
dan empat rakaat sesudahnya, maka diharamkan baginya api api neraka”.
(SHAHIH. HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, di Shahihkan oleh
Albani)
“Dalam suatu lafazh disebutkan, ‘Adapun (rawatib) Maghrib, Isya’, Fajar dan Jum’at dikerjakan di rumah beliau”.
“Dalam lafazh Al-Bukhary disebutkanm bahwa Ibnu Umar
berkata, “Aku diberitahu Hafsah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa shalat dua rakaat yang ringan setelah fajar menyingsing,
dan itu merupakan saat aku tidak menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam”.
MAKNA GLOBAL
Didalam hadits ini terkandung penjelasan lima shalat
sunat rawatib, bahwa untuk shalat Zhuhur mempunyai empat rakaat, dua
rakaat sebelumnya dan dua rakaat sesudahnya, shalat Jum’at mempunyai dua
rakaat sesudahnya, shalat Maghrib mempunyai dua rakaat sesudahnya dan
shalat Isya mempunyai dua rakaat sesudahnya. Rawatib Maghrib, Isya’,
Shubuh dan Jum’at dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam rumah.
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu mempunyai hubungan yang
erat dengan rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena
kedudukan saudarinya, Hafsah di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena itu dia dapat masuk ke tempat beliau saat beribadah,
tetapi tetap memperhatikan adab, sehingga dia tidak masuk kecuali hanya
sesekali waktu saja dan tidak masuk pada saat-saat yang tidak
diperkenankan, karena mengikuti firman Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak
(lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang belum
baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam
satu hari) yaitu sebelum shalat Shubuh…” [An-Nur : 58]
Dia tidak masuk ke tempat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada saat-saat shalat Shubuh, kendatipun dia ingin
tahu shalat yang dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Karena didorong keinginan untuk mendapatkan ilmu, maka dia bertanya
kepada saudarinya, Hafshah tentang hal itu, lalu Hafshah memberitahu
kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa shalat dua rakaat secara ringan setelah fajar menyingsing
dan ini merupakan shalat sunat.
KESIMPULAN HADITS.
[1]. Anjuran melaksanakan shalat-shalat rawatib tersebut dan menjaganya.
[2]. Shalat Ashar tidak mempunyai rawatib dibandingkan dengan rawatib-rawatib yang ditegaskan ini.
[3]. Rawatib-rawatib Maghrib, Isya’, Shubuh, Jum’at lebih baik dikerjakan di rumah.
[4]. Meringankan dua rakaat Fajar
[5]. Disebutkan dalam sebagian hadits shahih bahwa
Zhuhur mempunyai enam rakaat, Empat sebelumnya dan dua sesudahnya.
Disebutkan riwayat At-Tirmidzi dai haditsUmmu Habibah secara marfu’,
“Empat rakaat sebelum Zhuhur dan sesudahnya”.
[6]. Sebagian dari rawatib-rawatib ini dulakukan
sebelum shalat fardhu sebagai persiapan jiwa orang yang shalat untuk
ibadah sebelum masuk ke fardhu. Sebagian rawatib dikerjakan sesudah
fardhu untuk melengkapi
kekurangan dalam fardhu.
“Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, Tidak
ada satupun shalat nafilah yang lebih diperlihara Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam selain dari dua raka’at Fajar” .
“Dalam lafazh Muslim disebutkan, “Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya”
MAKNA GLOBAL
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan terhadap
penegasan dua rakaat fajar. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menuturkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkannya dan mengagungkan
urusannya dengan perkataan dan perbuatan beliau. Dalam hal ini Aisyah
berkata, “Tidak ada satu pun dari shalat-shalat nafilah yang lebih
dijaga dan dipelihara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi, seperti halnya dua
raka’at fajar”
Beliau juga bersabda bahwa dua rakaat fajar ini lebih baik daripada dunia dan seisinya.
KESIMPULAN HADITS
[1]. Shalat sunnat (dua rakaat) fajar ini sangat ditekankan sehingga tidak boleh
diabaikan.
[2]. Keutamaannya yang agung sehingga beliau menganggapnya lebih baik dari dunia dan
seisinya.
[3]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga
dan memberikan perhatian lebih banyak terhadap dua rakaat fajar
daripada yang lainnya.
[4]. Mengabaikan dua rakaat fajar menunjukkan kelemahan agama dan keengganan
mendapatkan kebaikan yang besar.
[Disalin dari Kitab Taisirul Allam Syarh Umdatul
Ahkam edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim Oleh Abdullah
bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, hal 122-126 Darul Falah]
————————————————————————————–
ADAKAH SHALAT SUNNAH QABLIYAH JUM’AT??
Oleh : Wahid bin ‘Abdis Salam Baali.
Di antara kaum muslimin ada yang setelah mendengar
adzan pertama langsung berdiri dan mengerjakan shalat dua rakaat sebagai
shalat sunnah Qabliyah Jum’at.
Dalam hal ini perlu saya katakan, saudaraku yang
mulia, shalat Jum’at itu tidak memiliki shalat sunnah Qabliyah, tetapi
yang ada adalah shalat Ba’diyah Jum’at.
Memang benar telah ditegaskan bahwa para Sahabat
radhiallahu ‘anhuma jika salah seorang dari mereka memasuki masjid
sebelum shalat Jum’at, maka dia akan mengerjakan shalat sesuai
kehendaknya, kemudian duduk dan tidak berdiri lagi untuk menunaikan
shalat setelah adzan. Mereka mendengarkan khuthbah dan kemudian
mengerjakan shalat Jum’at.
Dengan demikian, shalat yang dikerjakan sebelum shalat Jum’at adalah shalat Tahiyyatul Masjid dan shalat sunnat mutlaq.
Dari Salman radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “ Tidaklah mandi
seseorang pada hari jum’at dan berwudhu, dan memakai wewangian, kemudian
keluar seraya tidak memecah-belah 2 orang (melangkahi pundak orang2),
kemudian sholat sedapatnya, kemudian ia diam mendengarkan imam
berkhotbah, melainkan diampuni dosanya antara Jumat tersebut denagn
jumat yang lain” (SHAHIH, HR Bukhari dan Nasa-i, dishahihkan oleh Al
Albani, lihat kitab “Seleksi hadist2 Shahih tentang Targhib dan Tarhib
Imam Mundziri, takhrij hadist syaikh Imam Al Albani).
Dari hadist tersebut, jelaslah dalilnya mengenai
adanya sholat sunnat menunggu saat khutbah dimulai dan ini bukanlah
sholat qobliyah jum’at sebagaimana yang di fahami sebagian orang.
Dan hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan
shalat sunnah Qabliyah Jum’at adalah dha’if, tidak bisa dijadikan hujjah
(argumen), karena suatu amalan Sunnah itu tidak bisa ditetapkan,
kecuali dengan hadits yang shahih lagi dapat diterima.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani rahimahullah
mengatakan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban melalui jalan
Ayyub dari Nafi’, dia mengatakan, “Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan shalat
sebelum shalat Jum’at dan mengerjakan shalat dua rakaat setelahnya di
rumahnya. Dan dia menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa melakukan hal tersebut.”
Hadits ini dijadikan hujjah oleh an-Nawawi dalam
kitab, al-Khulaashah untuk menetapkan shalat sunnah sebelum shalat
Jum’at seraya memberikan komentar, bahwa ucapan Ibnu ‘Umar, “Dan dia
biasa melakukan hal tersebut,” kembali pada ucapannya, “Dan dia
mengerjakan shalat dua rakaat setelah shalat Jum’at di rumahnya.” Dan
hal itu ditunjukkan oleh riwayat al-Laits dari Nafi’ dari ‘Abdullah
bahwasanya jika telah mengerjakan shalat Jum’at dia kembali pulang untuk
kemudian mengerjakan shalat sunnah dua rakaat di rumahnya dan
selanjutnya dia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa melakukan hal tersebut.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Adapun ucapannya, “Ibnu ‘Umar biasa memanjangkan
shalat sebelum shalat Jum’at,” maka yang dimaksudkan adalah setelah
masuk waktu shalat sehingga tidak bisa menjadi marfu’, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ke masjid jika mata-hari
sudah tergelincir lalu beliau menyampaikan khutbah dan setelah itu
mengerjakan shalat Jum’at. Jika yang dimaksudkan adalah sebelum masuk
waktu shalat, maka yang demikian itu merupakan shalat sunnah mutlaq, dan
bukan shalat rawatib. Dengan demikian, tidak ada hujjah di dalamnya
yang menunjukkan adanya shalat sunnah Qabliyah Jum’at, tetapi ia
merupakan shalat sunnah mutlaq.
Dan telah disebutkan adanya anjuran melaku-kan hal
tersebut -seperti yang telah disampaikan sebelumnya- di dalam hadits
Salman dan lainnya, yang di dalamnya dia mengatakan, “Kemudian dia
mengerjakan shalat yang diwajibkan kepadanya.”
Selain itu, ada juga hadits-hadits dha’if yang
diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at, di
antaranya adalah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bazzar
dengan lafazh, “Dan beliau biasa mengerjakan shalat dua rakaat sebelum
Jum’at dan empat rakaat setelahnya.” Di dalam sanadnya terdapat
kelemahan.
Dan dari Ali juga terdapat hadits yang semisal yang
diriwayatkan oleh al-Atsram dan ath-Thabrani di dalam kitab al-Ausath
dengan lafazh, “Beliau biasa mengerjakan shalat empat rakaat sebelum
Jum’at dan empat rakaat setelahnya.” Di dalam sanad hadits ini terdapat
Muhammad bin ‘Abdurrahman as-Sahmi, yang menurut al-Bukhari dan perawi
lainnya, dia adalah seorang yang dha’if (lemah). Al-Atsram mengatakan,
“Ia merupakan hadits yang waahin.”
Juga masih ada hadits lainnya yang senada dengan itu,
dari Ibnu ‘Abbas dan dia menambahkan, “Beliau tidak memisahkan sedikit
pun darinya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad waahin (lemah).
Di dalam kitab al-Khulaashah, an-Nawawi mengatakan, “Sesungguhnya ia
me-rupakan hadits bathil.”
Dan ada juga hadits yang semisal dari Ibnu Mas’ud
yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani, di dalam sanadnya terdapat
kelemahan dan inqithaa’ (keterputusan). Al-Albani rahimahullah
mengatakan, “Semua hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat
sunnah Qabliyah Jum’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
tidak ada yang shahih sama sekali, yang sebagian lebih dha’if dari
sebagian yang lain. [1]
MENINGGALKAN SHALAT SUNNAH BA’DIYAH JUM’AT??
Di antara kaum muslimin ada yang meninggalkan shalat
sunnah Ba’diyah Jum’at, baik karena malas maupun karena tidak tahu. Dan
sebagian lagi tidak mengetahui bahwa shalat Jum’at itu memiliki shalat
sunnah ba’diyah.
Diantara mereka ada juga yang tidak mau mengerjakan sholat ba’diyah jum’at dengan dalil Firman Allah :
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al Jumu’ah ayat 10)
Ada seseorang yang selama dua puluh tahun tidak
pernah mengerjakan shalat sunnah Ba’ diyah Jum’at sama sekali. Wallahul
musta’an. Ini jelas salah, dan ia dapat digolongkan sebagai orang yang
mana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” [2]
Shalat sunnah Ba’diyah Jum’at itu empat ra-kaat,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian mengerjakan
shalat Jum’at, maka hendaklah dia mengerjakan shalat empat rakaat
setelahnya.” [3]
Dan jika mau, dia juga boleh mengerjakan dua rakaat
saja. Hal ini didasarkan pada riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu
‘Umar, di mana dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengerjakan shalat sunnah setelah Jum’at sehingga beliau pulang,
lalu beliau mengerjakan shalat dua rakaat di rumah beliau.” [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
mengata-kan, “Jika mengerjakan shalat sunnah di masjid, beliau
mengerjakan empat rakaat. Dan jika me-ngerjakan shalat sunnah di
rumahnya, maka beliau mengerjakannya dua rakaat.” [5]
Dan dimakruhkan menyambung shalat Jum’at dengan
shalat sunnah Ba’diyah tanpa pemisah antara keduanya, seperti
pembicaraan (dzikir) atau keluar dari masjid.
Telah diriwayatkan oleh Muslim dari as-Sa’ib
Radhyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku pernah mengerjakan shalat Jum’at
bersama Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu di dalam maqshurah .[6]
“Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung berdiri
di tempatku semula untuk kemudian mengerjakan shalat, sehingga ketika
dia masuk dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata, “Janganlah
engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau telah mengerjakan
shalat Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan suatu shalat
sehingga engkau berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat
Jum’at dengan shalat lainnya sehingga kita berbicara atau keluar.” [7]
[Disalin dari kitab kitab al-Kali-maatun Naafi’ah fil
Akhthaa' asy-Syaai’ah, Bab “75 Khatha-an fii Shalaatil Jumu’ah.” Edisi
Indonesia 75 Kesalahan Seputar Hari dan Shalat Jum’at, Karya Wahid bin
‘Abdis Salam Baali. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 232).
[2]. Shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 5063) dan Muslim (no. 1401).
[3]. Shahih: Diriwayatkan Muslim (no. 881).
[4]. Shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 937) dan Muslim (no. 882).
[5]. Dinukil oleh muridnya, Ibnul Qayyim di dalam kitab Zaadul Ma’aad, (I/440), dan dia
mengatakan, “Hal tersebut ditunjuk-kan oleh beberapa hadits.”
[6]. Maqshurah adalah sebuah ruangan yang dibangun di dalam masjid.
[7]. Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 883).