Bolehkah Laki-laki Memakai Kalung?
Bolehkan seorang lelaki memakai kalung, memakainya disimpan didalam baju/kaos dan tidak berbahan emas? Mohon pencerahan. Terimakasih Wassalamualaikm wr wb. (Kholid FY, Simbangkulon Gg1 Buaran Pekalongan)
Jawaban
Wa’alaikum salam wr. Wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Dari pertanyaan yang diajukan kepada kami nampak jelas bahwa kalung yang dipakai bukan terbuat dari emas-perak. Namun sebelum kami menjawab pertanyaan di atas, maka pertama kali yang harus kita pahami adalah apakah kalung yang tidak terbuat dari emas-perak tersebut memang merupakan perhiasaan yang hanya dikhususkan kepada perempuan saja. Jika memang kalung tersebut faktanya adalah dikhususkan sebagai perhiasan wanita, maka jelas laki-laki yang memakainya tidak didperkenankan karena ada unsur tasyabbuh bin-nisa` (menyerupai perempuan)
Dengan demikian, sesuatu dikatakan tasyabbuh bin-nisa` atau bir-rijal (menyerupai laki-laki) apabila memang sesuatu dikhususkan untuk perempuan atau laki-laki. Sehingga jika laki-laki memakai sesuatu yang memang dikhususkan untuk perempuan maka termasuk tasyabbuh bin-nisa`, begitu juga sebaliknya apabila perempuan memakai sesuatu yang dikhusukan untuk laki-laki maka termasuk tasyabbuh bir-rijal. Kedua tasyabbuh ini jelas dilarang dalam ajaran Islam.
وَقَدْ
ضَبَطَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ مَا يَحْرُمُ التَّشَبُّهُ بِهِنَّ فِيهِ
بِأَنَّهُ مَا كَانَ مَخْصُوصًا بِهِنَّ فِي جِنْسِهِ وَهَيْئَتِهِ أَوْ
غَالِبًا فِي زِيِّهِنَّ وَكَذَا يُقَالُ فِي عَكْسِهِ
“Ibnu Daqiq al-Id telah memberikan batasan tentang hal yang haram
menyerupai wanita, yaitu sesuatu yang dikhususkan untuk wanita baik
jenis maupun potongannya, atau umumnya merupakan perhiasaan mereka.
begitu juga sebaliknya” (Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M, juz, 2, h. 374)Dalam kitab al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab dikatakan, mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafii mengatakan bahwa laki-laki boleh memakai cincin yang terbuat dari perak sesuai dengan ijma`. Adapun selain cincin perak yaitu perhiasan yang terbuat dari perak seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung maka hukumnya adalah haram dipakai oleh laki-laki sebagaimana ditetapkan oleh mayoritas ulama.
قَالَ
أَصْحَابُنَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ خَاتَمُ الْفِضَّةِ بِالْاِجْمَاعِ
وَأَمَّا مَا سِوَاهُ مِنْ حُلِيِّ الْفِضَّةِ كَالسِّوَارِ
وَالْمُدَمْلَجِ وَالطَّوْقِ وَنَحْوِهَا فَقَطَعَ الْجُمْهُورُ
بِتَحْرِيمِهَا
“Para ulama dari kalangan madzhab kami (madzhab syafii) berkata,
boleh bagi laki-laki memakai cincin yang terbuta dari perak sesuai
dengan ijma` para ulama. Adapun selainnya yaitu perhiasan yang dibuat
dari perak seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan
bahu, kalung, dan sejenisnya maka mayoritas ulama menentapkan
keharamannya”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi’i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331) Namun menurut al-Mutawalli dan al-Ghazali boleh bagi laki memakai perhiasaan yang terbuat dari perak. Sebab, yang dilarang adalah menggunakan perkakas dari perak dan tasyabbuh dengan perempuan.
Sedang menurut pandangan kedua perhiasan seperti gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung yang terbuat dari perak tidak dipandangan tasyabbuh dengan perempuan. Disamping itu juga bukan termasuk perkakas (al-awani). Artinya, perhiasan tersebut bukan monopoli kaum hawa. Sebab, yang diharamkan adalah memakai perkakas yang terbuat dari perak dan adanya unsur tasyabbuh dengan perempuan.
وَقَالَ
الْمُتَوَلِيُّ وَالْغَزَالِيُّ فِي الْفَتَاوِى يَجُوزُ لِاَنَّهُ لَمْ
يَثْبُتْ فِي الْفِضَّةِ اِلَّا تَحْرِيمُ الْاَوَانِي وَتَحْرِيمُ
التَّشَبُّهِ بِالنِّسَاءِ
“Al-Mutawalli dan al-Ghazali berkata dalam
al-Fatawi-nya, boleh (bagi laki-laki memakai gelang tangan, gelang yang
dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung yang terbuat dari perak)
sebab keharaman yang terdapat dalam benda-benda yang terbuat dari perak
itu sebatas perkakas dan adanya unsur penyerupaan dengan perempuan”
(Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi’i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)
Kedua pandangan ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Imam
Muhyiddin Syaraf an-Nawawi. Dan hasil kesimpulannya, beliau lebih
cenderung menganggap bahwa pendapat pertama yang dipegangi mayoritas
ulama adalah pendapat yang sahih. Alasannya yang dikemukakan oleh beliau
adalah adanya tasyabbuh dengan perempuan yang jelas diharamkan.وَالصَّحِيحُ الْاَوَّلُ لِاَنَّ فِي هَذَا تَشَبُّهًا بِالنِّسَاءِ وَهُوَ حَرَامٌ
“Pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama karena dalam hal ini terdapat tasyabbuh dengan perempuan dan itu adalah haram”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, tahqiq: Muhammad Bakhith Muthi’i, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, juz, 4, h. 331)
Dengan kata lain alasan yang digunakan pendapat pertama untuk mengharamkanya lebih menekankan adanya unsur tasyabbuh dengan perempuan. Artinya, dalam pandangan mereka perhiasan-perhiasan tersebut (gelang tangan, gelang yang dipakai di antara siku dan bahu, dan kalung) dikhususkan untuk kalangan perempuan sehingga laki-laki tidak diperkenankan memakainya.
Jika penjelasan ini ditarik ke dalam pertanyaan di atas maka jawaban atas pertanyaan penanya adalah sepanjang kalung yang dipakai memang tidak dikhususkan untuk perempuan maka boleh memakainya karena tidak ditemukan adanya tasyabbuh dengan perempuan.
Tetapi jawaban ini pun belum memadai, sebab dalam pertanyaan di atas ternyata pemakaian kalung tersebut tidak untuk diperlihatkan tetapi disembunyikan di dalam baju. Dengan kata lain, dalam pemakaian kalung tersebut tidak ditemukan adanya motivasi untuk berhias. Padahal sejatinya tasyabbuh itu mengandaikan adanya penampakkan atas apa yang dipakai atau memperlihatkannya (berhias).
Berangkat dari sini, maka dalam pandangan kami pemakaian kalung yang terbuat dari bahan monel dimana si pemakainya menyembunyikannya dalam baju sebagaimana dideskripsikan dalam pertanyaan di atas adalah boleh.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Dan jika memang penjelasan ini dianggap kurang memadai, atau kurang tepat, maka kami selalu terbuka untuk menerima masukan, saran, dan kritik. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu’alaikum wr. wb. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)
No comments:
Post a Comment