Halaman

Tuesday, April 4, 2017

Pengertian, Sejarah, dan Cabang-cabang Ulumul Hadits


PEMBAHASAN



2.1   Pengertian Ulumul Hadist
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). Dari segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadist, secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledgr, dan science,[1] sedangkan hadist secara etimologis, hadist memiliki makna jadid, qorib, dan khabar.[2] Adapun pengertiannya sebagai berikut:
a.      Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya hidast, hudatsa, dan huduts);
b.      Qorib: yang dekat, yang bekum lama terjadi;
c.       Khabar: warta, yakni: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang yang lain (Hasbi Asshiddiqy, 1980 : 20)
Adapun pengertian hadist secara terminologis menurut Ahli Hadist:
اَقْوَالُهُ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفَعَاله وَأَحْوَالُهُ
“Segala ucapan, segala perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi SAW” (Mahmud Thahan, 1978 : 155)
Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW. Para ulama ahli hadist banyak yang memberikan definisi ilmu hadist, di antaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani:
الْقَوَاعِد المُعَرِفَةُ بِحَالِ الرَّاوِي وَالْمَرْوِيٌ
Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkan”[3]
            Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadist adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Ilmu hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
a.      Ilmu Hadist Riwayah
Menurut bahasa riwayah dari akar rawa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql = memindahkan dan penukilan, adz-dzikr = penyebutan, dan al-fath = pemintalan. Seolah-olah dapat dikatakan periwayatan adalah memindahkan berita atau menyebutkan berita dari orang-orang tertentu kepada orang lain dengan dipertimbangkan/dipintal kebenarannya.[4]
Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
a.      Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
b.      Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
b.      Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu Hadist Dirayah, dari segi bahasa kata berasal dari kata dara, yadri, daryan, dirayatan/dirayah =pengetahuan, jadi yang dibahas nanti dari segi pengetahuannya yakni pengetahuan tentang hadist atau pengantar ilmu hadist.[5]
Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
a)      Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti:
·         Sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru),
·         Qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut),
·         Ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya kepada seorang untuk diriwayatkan),
·         Kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang),
·         Munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan),
·         I’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya),
·         Washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan
·         Wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru).
b)      Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
a.      Segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar:
b.      Segi kepercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya );
c.       Segi keselamatan dan kejanggalan (syadz);
d.      Keselamatan dan cacat (‘illat); dan
e.       Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam al-quran, atau selamatnya:
a.      Dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz);
b.      Dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad al- ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna al-qur’an, atau dengan fakta sejarah; dan
c.       Dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
2.2  Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Pada mulanya, Ilmu Hadits memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadits Nabi SAW dan para perawinya, seperti Ilmu Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan Ilmu-Ilmu Hadits secara parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibnu Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261 H/875 M) menulis kitab al- Asma’ wa al-Kuna, Kitab al- Thabaqat dan kitab al- ‘Ilal dan lain-lain.
Ilmu-ilmu yang terpisah dan  bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan tentang hadits dan perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadits, sebagaimanahalnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jama’ Ulumul Hadits, setelah keadaannya menjadi satu, adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ulumul Hadits, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama –beberapa ilmu yang terpisah- menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah Hadits. Para ulama yang menggunakan nama Ulum al-hadits, diataranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi (405 H/1014 M), Ibnu al-Shalah (643 H/1246 M), dan ulama kontemporer seperti Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Thawani (1394 H/1974 M) dan Subhi al-Shalih. Sementara itu, beberapa ulama yang datang setelah Ibn al-Shalah, seperti al-‘Iraqi (806 H/1403 M) dan al-Suyuthi (911 H/1505 M), menggunakan lafaz mufrad, yaitu Ilmu al-Hadits, di dalam berbagai karya mereka.
2.3  Cabang-cabang Ilmu Hadist
a.      Ilmu Rijal al-Hadits
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةٍ الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَا بَةِ وَالتَّا بِعِيْنَا وَمَنْ بَعْدَا هُمْ
“Ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya.”
b.      Ilmu Jarh wa at-ta’dil
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ الرَّوَاةِ وَتَعْدِيْلِهِمْ بِاَ لْفَاظٍ مُخْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَا تِبِ تِلْكَ اْلأَلْفَاظِ
“ Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.”
c.       Ilmu Fann al-Mubhamat
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ الْمُبْهَمُ الَّذِى وَقَعَ فِى الْمَتْنِ اَوْفِى السَّنَدِ
“Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di dalam sanad.”
d.      Ilmu Tashhif wa at-Tahrif
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَا صَحِّفَ مِنَ اْلاَحَادِيْثِ وَمَا حُرِّفَ مِنْهَا
”Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (yang dinamai Mushahaf) dan bentuknya yang dinamai Muharraf.”
e.      Ilmu ‘Ilal al-Hadits
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ اَسْبَا بِ غَا مِضَةٍ خَفِيَّةٍ خَادِجَةٍ فِى صِحَّةِ الْحَدِيْثِ
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusak hadits.”
f.       Ilmu Gharib al-Hadits
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَا وَقَعَ فِى مُتُوْنِ اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلاَ لْفَاظِ اْلعَرَبِيَةِ عَنْ اَذْ هَا نِ الَّذِ يْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِا لْعَرَبِيَةِ الْخَا لِصَةِ
Ilmu yang menerangkan makna kalimat-kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.”

g.      Ilmu Nasikh wa al-Mansukh
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ النَّا سِخِ وَالْمَنْسُوْخِ مِنَ اْلاَ حَا دِيْثِ
“ Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah di mansuhkan dan yang menashihkannya.”
h.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
عِلْمٌ يُعْرُفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِى وَرَدَ لِاَجْلِهِ الْحَدِيْثُ وَالزَّمَا نُ الَّذِى جَاءَ فِيْهِ
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan itu.”
i.        Ilmu Talfiq al-Hadits
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ التَّوْفِيْقِ بَيْنَ اْلاَحَادِيْثِ الْمُتَنَا قِضَةِ ظَا هِرًا
“Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan zhahirnya.”
j.        Ilmu Musthalah Ahli Hadits
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَمَّا اَصْطَلَحَ عَلَيْهِ الْمُحَدِثُوْنَ وَتَعَارَفُوْهُ فِيْمَا بَيْنَهُمْ
“Ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits)”

No comments:

Post a Comment