MUNAKAHAT (PERNIKAHAN) DAN PERSOALANNYA
OLEH
HAFIZUR RACHMAN
MUHAMMAD AYUB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
TEKNIK INFORMATIKA
TAHUN AJARAN 2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah
memberi rahmat serta karuniaNya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah
ini dengan tepat waktu. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak dan beberapa sumber lainnya
yang menjadi referensi penulis dalam penyelesaian makalah ini. Penulis
memberi judul makalah ini “Munakahat (Pernikahan) dan Persoalannya”, karena ini
adalah salah satu tugas yang diembankan terhadap penulis. Selain itu, penulis
juga ingin berbagi wawasan terhadap pembaca terhadap pernikahan menurut
syari’at islam.
Semoga makalah ini mampu untuk menjadi salah satu
penambah wawasan kita terhadap ilmu tentang pernikahan berdasarkan islam. Jika
makalah ini ada kesalahan atau ada hal-hal yang kurang terhadap materi yang ada
pada makalah ini, penulis mohon maaf. Kritik dan saran sangat diperlukan untuk
sempurnanya makalah ini.
Pekanbaru, Maret 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
................................................................................................ i
Daftar Isi
.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang
................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................
2
2.1 Hukum Munakahat
.......................................................................... 2
2.2 Tujuan Dan Hikmah Munakahat
..................................................... 2
2.3 Peminangan (Khitbah) Sebelum Pelaksanaan Pernikahan .............. 3
2.4 Pelaksanaan Pernikahan (Akad Nikah)
...........................................
8
2.5 Rukun Dan Syarat Sah Nikah
......................................................... 8
BAB III PENUTUP
....................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan
.................................................................................... 11
3.2 Hikmah .......................................................................................... 11
3.3 Saran
.............................................................................................. 11
Daftar Pustaka
................................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia
hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal
konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian
menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan
diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba
kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat. Terpenuhinya syarat dan
rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut
baik menurut hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum
Islam). Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka
mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi
Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum
tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga
dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Nikah secara bahasa : kumpulan, bersetubuh,
akad. secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan
bersenang-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
2.1 Hukum Munakahat
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori
yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
1. Wajib, bila
nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
2. Sunnah,
bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
3. Mubah, bila
tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang
mengharamkan menikah.
4. Makruh,
bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan
isterinya.
5. Haram, bila
nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
2.2 Tujuan Dan Hikmah Munakahat
2.2.1
Berdasarkan Tujuan
1. Tujuan
Fisiologis, yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Tempat
semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
b. Tempat
semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan, minum, pakaian yang memadai
dll.
c. Tempat
suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
2. Tujuan
Psikologis, yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Tempat
semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
b. Tempat
semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
c. Tempat
semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
d. Basis
pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
3. Tujuan
Sosiologis, yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Lingkungan
pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
b. Unit sosial
terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga
dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
4. Tujuan
Da’wah, yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a. Menjadi
obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
b. Menjadi
prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat
muslim dan nonmuslim.
c. Setiap
anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
d. Memberi
antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan.
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya
terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah,
terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1) Sarana
pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21).
2) Sarana
menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21).
3) Sarana
menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak.
Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi).
4) Sarana
untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral. Rasulullah pernah berkata
kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu
kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga
kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa
itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam
Kitab Shaum).
2.3 Peminangan (Khitbah) Sebelum Pelaksanaan Pernikahan
2.3.1 Definisi Peminangan.
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian
peminangan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah¬)
adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin
menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya.
Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan
pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua
orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT
yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin
saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai
penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan
disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum
berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan
seseorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan
yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan
pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara
langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum
acara pernikahan dilangsungkan.
a. Dasar dan Hukum Pinangan
Dari Mughirah R.A. , sesungguhnya ia pernah meminang
seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu
dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan
antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi)
Dari Abu Hurairah R.A. , dia berkata,” Aku duduk di dekat
Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia
akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu
bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”.
Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah
kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan
Nasa’i)
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis
Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan
terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah
untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an
maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak
terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud
Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini
mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan
(khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam
peminangan itu.
b. Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan
melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata
etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat
ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal
itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua
belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan
keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan
melindungi.
Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah
itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal.
Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang perempuan:”
melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan
perkawinan.
c. Macam-Macam
Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai
berikut:
1. Secara
langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak
mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya
berkeinginan untuk menikahimu.”
2. Secara
tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau
dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan
maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah
habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang
dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi
wanita yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada
waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya dengan menggunakan
bahasa terus terang tadi.
d. Hal-hal yang Berkaitan dengan Peminangan.
1. Norma Kedua
Calon Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului
pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan
tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena peminangan (khitbah) ini akan
membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling
mengetahui. Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses peminangan,
norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri masih tetap
sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk
diperlihatkan.
2. Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.
Seluruh ulama bersepakat bahwa peminangan seseorang
terhadap seseorang yang telah dipinang adalah haram. Ijma para ulama mengatakan
bahwa peminangan kedua, yang datang setelah pinangan yang pertama, tidak
diperbolehkan. Hal tersebut terjadi apabila :
• Perempuan
itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara
jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan
itu.
• Pinangan
kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
• Peminang
pertama belum membatalkan pinangan.
Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi,
”Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian saudara kalian, dan janganlah
kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali dengan izinnya”. Seluruh imam
bersepakat bahwa hadis tersebut berlaku
bagi pinangan yang telah sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang
merasa sakit hati satu sama lain. Adapun mengenai pinangan yang belum sempurna,
dengan pengertian masih menunggu jawaban, beberapa ulama berbeda pendapat.
Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam
menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini bertentangan dengan pendapat
sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya perbuatan itu tidak haram.
Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga
orang sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid.
Hal itu terjadi setelah selesainya masa iddah Fatimah yang telah ditalak oleh
Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat landasannya
karena sesuai dengan tata perilaku islam yang mengajarkan solidaritas.
Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam
mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada pemutusan silaturrahim terhadap
peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang dipinang.
3. Orang-orang yang Boleh Dipinang.
Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi
merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya, mereka yang tidak boleh untuk
dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam hal ini, ada syarat agar
pinangan diperbolehkan :
• Bukan
Orang-Orang yang Dilarang Menikahinya.
• Bukan
Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.
• Tidak Dalam
Masa ‘Iddah
e. Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian:
• Hanya
muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat
ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang
dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
• Muka,
telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
• Wajah,
leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut
Hambali.
•
Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
• Keseluruh
badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan
ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
f. Waktu dan Syarat Melihat Pinangan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang calon pengantin,
terutama laki-laki, dianjurkan untuk melihat calon istrinya sebelum pernikahan
berlangsung. Dengan syarat bahwa perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu
agar kehormatan perempuan tersebut terjaga. Baik dengan izin atau tidak. Imam
Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat
kebutuhan mendesak. Itu disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan
menimbulkan syahwat.
Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan
itu diperbolehkan asalkan tidak dengan syahwat.
2.4 Pelaksanaan Pernikahan (Akad Nikah)
2.4.1 Pengertian Akad Nikah
Secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian,
kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita. secara syar’i : Ikrar seorang
pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya,
dengan tujuan :
• Hidup
bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
•
Memperoleh ketenangan jiwa.
•
Menyalurkan syahwat dengan cara yang halal.
•
Melahirkan keturunan yang sah dan shalih.
2.5 Rukun Dan Syarat Sah Nikah
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi
rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan
mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam
menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an
mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh)
sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah
tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan
dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut
jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syara mempelai pria adalah :
a) Muslim
& mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al
Mumtahanah : 9.
b) Bukan
mahrom dari calon isteri.
c) Tidak
dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah
(atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat
QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada
halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom
dari calon suami).
c) Tidak
dipaksa.
d) Orangnya
jelas.
e) Tidak
sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a) Muslim
laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak
dipaksa.
d) Tidaksedang
melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut :
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara
laki-laki sekandung
d) Saudara
laki-laki seayah
e) Anak
laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak
laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g) Paman
sekandung
h) Paman
seayah
i) Anak
laki-laki dari paman sekandung
j) Anak
laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada
hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang
saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat
saksi adalah :
a) Muslim
laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat
mendengar dan melihat.
d) Tidak
dipaksa.
e) Memahami
bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak
sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a) Mahar
adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang
suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat
QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib
diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang
tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati
bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak
memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk
disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap
harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian khitbah adalah pinangan, yakni melamar untuk
menyatakan permintaan atau ajakan mengingat perjodohan, dari seorang laki-laki
dengan seorang perempuan calaon istrinya.
Hukum khitbah adalah boleh, sebagaiman yang telah di
jelaskan. Adapun syarat-syarat perempuan yang boleh di khitbah adalah:
1. Perempuan
bukan istri orang lain.
2. Bukan pada
saat iddah karena tala’ roj’i.
3. Tidak dalam
pinangan orang lain.
4. Beberapa
pendapat para ulama’ tentang melihat pinangan ada yang mengatakan boleh,
seperti jumhur ulama’ mengatakan boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan
dll.
3.2 Hikmah
1. Pengetahuan
mengenai pengertian khitbah.
2. Pengetahuan
tentang pinangan yang di syari’atkan oleh islam.
3. Dapat
mengetahui syarat-syarat perempuan yang boleh di pinang.
3.3 Saran
Dari makalah ini penulis mengharapkan agar para pembaca
khususnya mahsiswa
mengetahui makna khitbah dan bagaiman melakukan pinangan
yang di syari’atkan agama islam.
DAFTAR PUSTAKA
- Dewantoro Sulaiman, SE, 2002, Agenda Pengantin,
Hidayatul Insan: Solo.
- Rasjid, Sulaiman, H., 1996, Fikh Islam, Sinar Baru
Algesindo: Bandung
- Amir Syarifuddin, 2007, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Kencana: Jakarta.
- Al-Hamdani, 2002, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani:
Jakarta.
- postteknologi.blogspot.com