BAB
I
PENDAHULUAN
Menurut Bahasa Fiqih Berarti faham atau tahu.
Menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang
hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh
dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqih disebut dengan faqih.
Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqih.
Fiqih menurut
bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka
mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78)
Dan
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya
panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan
kepahamannya.”
(Muslim
no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Dalam
kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqih mempunyai dua
makna, yakni menurut ahli usul dan ahli fiqih. Masing-masing memiliki
pengertian dan dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqih.
Menurut ahli usul, Fiqih adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum shara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari
dalil-dalil yang tafsil (khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul
mengartikan fiqih adalah mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut para ahli fiqih (fuqaha), fiqih adalah
mengetahui hukum-hukum shara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba
(mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Lebih lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan fiqih Islamialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah
dibukukan dari berbagai madzhab yang empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan
dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di madinah
maupun fuqaha makkah, fuqaha sham, fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan
lain-lain
BAB
II
PEMBAHASAN
- 1. Ketentuan - Ketentuan
dalam Fiqih
Dalam mempelajari fiqih,
Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum
muslimin, yaitu :
Melarang membahas peristiwa
yang belum terjadi sampai ia terjadi.
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala
:
"Hai orang-orang yang
beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan
padamu, nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menayakan itu ketika
turunnya al-qur'an tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah
diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi penyayang." (Q. S.
Al-Maidah: 101)
Dan dalam sebuah hadits ada
tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan "Aqhluthath"
yakni masalah-masalah yang belum lagi terjadi.
a. Menjauhi banyak tanya dan
masalah-masalah pelik.
Dalam sebuah hadits di katakan:
"Sesungguhnya Allah
membenci banyak debat, banyak tanya, dan menyia-nyiakan harta."
"Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan, dan telah
menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui, mengaharamkan beberapa
larangan maka jangan dlannggar, serta mendiamkan beberapa perkara bukan karena
lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkit!"
"Orang yang paling besar
dosanya ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram,
kemudian diharamkan dengan sebab pertanyaan itu."
b. Menghindarkan pertikaian dan
perpecahan didalam agama.
Sebagaimana firman-firman Allah
Ta'ala sebagai berikut:
"Hendaklah kamu sekalian
berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !" (Q. S. Ali
Imran: 103).
"Janganlah kamu
berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan, nanti kamu gagal dan hilang
pengaruh!" (Q. S. Al-Anfal 46).
2
"Dan janganlah kamu
seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan bersilang sengketa demi
setelah mereka menerima keterangan-keterangan! dan bagi mereka itu disediakan
siksa yang dahsyat." (Q. S. Ali Imran 105)
c. Mengembalikan
masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah.
Berdasarkan
firman Allah SWT :
"Maka
jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah dan
Rasul." (Q. S. An-Nisa 9). "Dan apa-apa yang kamu perselisihkan
tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah." (Q. S. Asy- Syuro: 10).
Hal demikian itu, karena
soal-soal keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur'an, sebagaimana firman Allah
SWT :
"Dan
kami turunkan Kitab Suci Al-qur'an untuk menerangkan segala sesuatu." (QS.
An-Nahl 89).
Begitu juga dalam surah: Al-An'am
38, An-Nahl 44 dan An-Nisa 105, Allah telah menjelaskan keuniversalan
al Qur'an terhadap berbagai masalah kehidupan.
Sehingga dengan demikian
sempurnalah ajaran Islam dan tidak ada lagi alasan untuk berpaling kepada
selainnya. Allah SWT berfirman:
"Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku
cukupkan nikmat karunia-Ku dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu." (Q.
S. Al Maidah: 5).
- 2. Hubungan Fiqih dan
Syari'ah
Setelah dijelaskan
pengertian fiqih dalam terminologi mutakhirin yang kemudian
populer sekarang, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antar Fiqih dan
Syari'ah adalah:
Bahwa ada kecocokan antara Fiqih dan
Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas
dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq
disebut 'umumun khususun min wajhin" yakni Fiqih identik
dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar.
Sementara pada sisi yang
lain Fiqih lebih luas, karena pembahasannya mencakup
hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas
dari Fiqih karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang
berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan
kisah-kisah umat terdahulu.
1. Hubungan Antara Fiqih dan
Aqidah Islam
Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai
hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki
keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah
Islam yang lain.Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan
seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk
menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan.
Sedangkan orang yang
tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan
tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka
berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari
keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para
hambaNya.
Contohnya : Allah memerintahkan
bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada
Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
2. Fiqih Islam Mencakup Seluruh
Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan
manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia
mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang
terprogram dan teratur.
Manakala fiqih Islam adalah
ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi
mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan
ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan
aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Macam – Macam Hukum Fiqih Dalam
Kehidupan Sehari – Hari :
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
Hukum-hukum yang berkaitan
dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan,
nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As
sakhsiyah.
Hukum-hukum yang berkaitan
dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli,
jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih
Mu’amalah.
Hukum-hukum yang berkaitan
dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan
keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta
yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti
kewajiban taat dalam hal yang
bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
Hukum-hukum yang berkaitan
dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan
ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang
lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
Hukum-hukum yang mengatur
hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan
tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As
Siyar.
Hukum-hukum yang berkaitan
dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan
adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya
meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan
pribadi dan masyarakat.
- 3. Sumber-Sumber Fiqih
Islam
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali
kepada empat sumber yakni :
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk
menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia
adalah sumber
pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu
permasalahan, maka pertamakali
kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Contoh :
·
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras),
judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk
kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu
wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
·
Bila kita ditanya tentang masalah jual
beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al
baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan
untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang
bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah
kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari
no. 46, 48, muslim no. 64, 97,
Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no.
3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh
Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.
3413, dan Ahmad no. 23093,
23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa
dilakukan Rasulullah di
rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang
waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang
shalat dua rakaat setelah
sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua
rakaat”, orang tersebut
menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat
sebelum subuh, maka saya
kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam.
Maka diamnya beliau berarti
menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut
setelah shalat subuh bagi yang
belum menunaikannya.
· As-Sunnah adalah sumber
kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu
permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib
mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar
bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
· As Sunnah
berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum.
Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah.
Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah
menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti
pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan
seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu
hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi
sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka
adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya
wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa
tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang
telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu
Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah
menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas
kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya: Ijma para
sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak
laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan
ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah,
maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah
disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita
mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Qiyas yaitu Mencocokan perkara
yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang
memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara
keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash
dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah
maupun ijma’. Qiyas merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as
Sunnah dan Ijma’.
Contoh: Allah mengharamkan
khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena
ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman
memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya
dengan haram, \ sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman
khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi
haram sebagaimana pula khamer.
BAB
III
KESIMPULAN
Menurut Bahasa Fiqih Berarti faham atau
tahu. Menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan
tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal
perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqih disebut dengan faqih.
Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqih.
Ketentuan - Ketentuan dalam Fiqih
a. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik.
b. Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama.
c. Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada
Kitab dan sunah
Sumber-Sumber Fiqih Islam
Sumber-Sumber Fiqih Islam
- Al-Qur’an
- As-Sunnah
- Ijma’
- Qiyas
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: Majalah Fatawa. Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id
Rasjid.Sulaiman H, Fiqih Islam. 2002. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
H.Daud.Moh.Ali SH. 2012.Pengatar Ilmu Hukum Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta Rajawali pers
Terimakasih. semoga bermanfa'at.
No comments:
Post a Comment