Halaman

Thursday, February 15, 2018

MAKALAH FIQIH



BAB I
PENDAHULUAN



     Menurut Bahasa Fiqih Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqih disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqih.

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah: 

“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78) 

Dan Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” 
(Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511) 

Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqih mempunyai dua makna, yakni menurut ahli usul dan ahli fiqih. Masing-masing memiliki pengertian dan dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqih.

    Menurut ahli usul, Fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum shara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil (khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fiqih adalah mengetahui hukum dan dalilnya.

     Menurut para ahli fiqih (fuqaha), fiqih adalah mengetahui hukum-hukum shara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

    Lebih lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fiqih Islamialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah dibukukan dari berbagai madzhab yang empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di madinah maupun fuqaha makkah, fuqaha sham, fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan lain-lain


BAB II
PEMBAHASAN 



  • 1. Ketentuan - Ketentuan dalam Fiqih 


Dalam mempelajari fiqih, Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin, yaitu :

Melarang membahas peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi.
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala :

"Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan padamu, nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menayakan itu ketika turunnya al-qur'an tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi penyayang." (Q. S. Al-Maidah: 101) 

Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan "Aqhluthath" yakni masalah-masalah yang belum lagi terjadi.  

a. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik. 

Dalam sebuah hadits di katakan:

"Sesungguhnya Allah membenci banyak debat, banyak tanya, dan menyia-nyiakan harta."
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan, dan telah menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui, mengaharamkan beberapa larangan maka jangan dlannggar, serta mendiamkan beberapa perkara bukan karena lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkit!"

"Orang yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram, kemudian diharamkan dengan sebab pertanyaan itu."

b. Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama. 

Sebagaimana firman-firman Allah Ta'ala sebagai berikut: 

"Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !" (Q. S. Ali Imran: 103). 

"Janganlah kamu berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan, nanti kamu gagal dan hilang pengaruh!" (Q. S. Al-Anfal 46).
                                                                   2
"Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan bersilang sengketa demi setelah mereka menerima keterangan-keterangan! dan bagi mereka itu disediakan siksa yang dahsyat." (Q. S. Ali Imran 105)

c. Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah.

    Berdasarkan firman Allah SWT :  
"Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah dan Rasul." (Q. S. An-Nisa 9). "Dan apa-apa yang kamu perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah." (Q. S. Asy- Syuro: 10). 
Hal demikian itu, karena soal-soal keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur'an, sebagaimana firman Allah SWT :
"Dan kami turunkan Kitab Suci Al-qur'an untuk menerangkan segala sesuatu." (QS. An-Nahl 89). 
Begitu juga dalam surah: Al-An'am 38, An-Nahl 44 dan An-Nisa 105, Allah telah menjelaskan keuniversalan al Qur'an terhadap berbagai masalah kehidupan.

Sehingga dengan demikian sempurnalah ajaran Islam dan tidak ada lagi alasan untuk berpaling kepada selainnya. Allah SWT berfirman: 

"Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku cukupkan nikmat karunia-Ku dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu." (Q. S. Al Maidah: 5). 

  • 2. Hubungan Fiqih dan Syari'ah

Setelah dijelaskan pengertian fiqih dalam terminologi mutakhirin yang kemudian populer sekarang, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antar Fiqih dan Syari'ah adalah:

Bahwa ada kecocokan antara Fiqih dan Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut 'umumun khususun min wajhin" yakni Fiqih identik dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar.

Sementara pada sisi yang lain Fiqih lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari Fiqih karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu.


1. Hubungan Antara Fiqih dan Aqidah Islam 
        Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain.Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan.

 Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya : Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6) 
  
2. Fiqih Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur.

Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Macam – Macam Hukum Fiqih Dalam Kehidupan Sehari – Hari :

Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah. 
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti
kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

  • 3. Sumber-Sumber Fiqih Islam
             Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber yakni :
        
1. Al-Qur’an

                   Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk 
        menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber  
        pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali 
        kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
             Contoh    :
·                Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
·                    Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

2. As-Sunnah

As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

          Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari   
no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
           Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 
3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa 
dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

         Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang 
shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua 
rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat 
sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. 

Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut  
setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

·  As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
·      As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki

3. Ijma’

Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
      Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:  Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya. 

 4. Qiyas

Qiyas yaitu Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’. Qiyas merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’. 

Contoh: Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, \ sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.



BAB III
KESIMPULAN

Menurut Bahasa Fiqih Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqih disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqih.

Ketentuan - Ketentuan dalam Fiqih

a. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik.
b. Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama.
c. Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah


Sumber-Sumber Fiqih Islam


  1. Al-Qur’an 
  2. As-Sunnah
  3. Ijma’
  4. Qiyas



DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Majalah Fatawa. Dipublikasikan kembali oleh 
www.muslim.or.id
Rasjid.Sulaiman H, Fiqih Islam. 2002. Bandung : Sinar Baru Algensindo.

H.Daud.Moh.Ali SH. 2012.Pengatar Ilmu Hukum Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta Rajawali pers

Terimakasih. semoga bermanfa'at.

No comments:

Post a Comment