Halaman

Sunday, February 18, 2018

"Pisau" dan "Bawang": Renungan tentang ilmu dan ilmuwan


Ada dua jenis pengetahuan yang tumbuh dalam dua tradisi yang berbeda. Saya belum menemukan istilah yang tepat untuk kedua jenis itu. Untuk mudahnya, saya akan sebut yang pertama sebagai "pengetahuan sofistik" (dari kata "sophia"= kebijaksanaan), yang kedua "pengetahuan instrumental". Jika Anda punya istilah yang lebih baik, silahkan dipakai.

Saya tak akan mendefinisikan kedua jenis pengetahuan ini. Tapi saya akan menceritakan pengalaman saya mempelajari dua jenis pengetahuan ini, dan dari cerita ini semoga Anda akan mendapatkan gambaran tentang apa yang saya sebut sebagai pengetahuan sofistik dan pengetahuan instrumental.

Inilah kisah saya.

Saya belajar ilmu-ilmu agama selama bertahun-tahun sejak di pesantren, sejak kecil hingga saya berumur kira-kira dua puluh tiga tahun. Saya belajar semua cabang ilmu agama yang biasa diajarkan di pesantren, termasuk ilmu-ilmu yang biasa disebut ilmu alat (atau 'ilm al-adawat), seperti nahwu, saraf, balaghah, 'arudh/qawafi (ilmu tentang puisi tradisional Arab), dll.

Corak keilmuan yang saya pelajari di pesantren sangat khas. Saya mempelajari ilmu sebagai "substansi", bukan sebagai sebuah "obyek riset" yang dijadikan sasaran penelitian untuk membuktikan suatu tesis tertentu dengan menggunakan metode tertentu pula. Masih abstrak ya? Baik, saya akan perjelas lagi.

Saat di pesantren dulu, saya belajar fiqih, misalnya. Saat belajar fiqih, saya mempelajari semua pembahasan dalam ilmu ini agar kami menjadi orang yang tahu fiqih, dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu kami pelajari karena kami ingin mendapatkan "substansi" atau isi dari sana, dan kemudian substansi itu kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sikap kami terhadap ilmu bukanlah "berjarak", seperti berjaraknya seorang dokter terhadap pasien yang menjadi obyek pengobatan dia. Kami, saat di pesantren dulu, menyikapi ilmu sebagai obyek yang kami "peluk", kami "ugèmi" (pegang erat-erat), dan kami jadikan sebagai kompas yang memandu kehidupan sehari-hari kami. Ilmu adalah dasar bagi kehidupan yang saleh untuk mencapai keselamatan di kehidupan nanti.

Ilmu tidak pernah kami pandang sebagai sebuah "metode" yang bisa kami pakai secara "netral" untuk meneliti hal apapun, seperti seorang antropolog modern yang memakai ilmu antropologi sebagai pisau analisa untuk melihat gejala sosial apapun.

Dengan menggunakan kiasan pisau dan bawang, ilmu bagi kami di pesantren dulu adalah bawang itu sendiri. Ini kontras dengan kedudukan ilmu baru yang nanti akan saya bahas dalam bagian di bawah, yakni ilmu yang berfungsi sebagai "pisau" yang dipakai sebagai alat untuk mengiris bawang.

Karena ilmu adalah bawang, kita memandang bahwa derajat ilmu seseorang tergantung pada sebarapa banyak "bawang" yang dia punya, dan seberapa lihai dia memasak bawang itu untuk mencapai tujuan pokok: terhidangnya makanan yang enak dan sehat.

Karena ilmu dulu bagi kami adalah subtansi, dan substansi ilmu yang kami pelajari di pesantren dulu berkaitan dengan Kitab Suci, yakni Quran dan hadis, maka pandangan kami terhadap ilmu pun sangat khas: ilmu bagi kami adalah sakral. Termasuk ilmu-ilmu alat seperti nahwu pun kami pandang sebagai ilmu yang sakral.

Padahalilmu-ilmu alat itu sebetulnya tak punya nilai kesucian pada dirinya sendiri. Sebagai alat, dia mestinya netral. Tetapi karena ini adalah ilmu alat yang kami pakai untuk memahami ilmu-ilmu yang sakral, maka ia "kecipratan" kesakralan pula. Dengan memakai bahasa pesantren, ilmu-ilmu alat ini menjadi sakral "li-ghairiha", bukan "li-dzatiha".

Guru yang mengajarkan ilmu-ilmu yang kami pandang sakral ini pun harus memenuhi kwalifikasi moral tertentu. Akhlak pribadi para guru menjadi penting di mata kami. Jika ada seorang guru yang prilaku sehari-harinya tidak mencerminkan akhlak ideal tertentu, maka biasanya kami agak enggan berguru kepada mereka (jika pun guru jenis ini ada).

Ini semua karena ilmu kami pandang sebagai sumber normativitas, sumber kaidah prilaku yang benar dan tidak, bukan sekedar pisau analisa. Karena ilmu adalah "normatif", apa yang terkandung dalam ilmu itu harus diamalkan dalam kehidupam sehari-hari.

Saat saya mulai bergerak ke wilayah lain, yaitu dunia keilmuan modern sebagaimana dipraktekkan di universitas-universitas, saya menjumpai jenis pengetahuan lain. Ini saya alami secara langsung ketika saya belajar di Amerika.

Di sana, watak ilmu sangat berbeda dengan ilmu yang pernah saya alami di pesantren. Secara umum, watak ilmu yang dikembangkan di perguruan tinggi modern cenderung memisahkan antara ilmu dengan "faith commitment" para ilmuwan. Ilmu tidaklah berdasarkan keimanan, "non-faith based", atau bisa juga kita sebut "faithless". Sebab dia adalah alat netral yang bisa dipelajari siapa saja, dan bisa digunakan sebagai pisau untuk menelaah apa saja.

Salah satu contoh yang bagus adalah ilmu sosiologi atau antropologi. Dua ilmu ini mewakili secara pas (ideal type, dalam istilah Weber) ilmu yang saya kiaskan sebagai pisau tadi. Dua ilmu ini memperkenalkan sebuah metode yang bisa dipakai untuk menelaah gejala apa saja sejauh itu menyangkut prilaku manusia.

Kata kuncinya adalah "menelaah". Kegiatan menelaah mengandaikan adanya "jarak" (Ar. masafah; Ingg. distance), antara penelaah dan obyek yang ditelaah.

Seorang antropolog, misalnya, bisa menelaah kegiatan manusia apapun, tanpa harus menjadi bagian dari "komunitas nilai" yang menjadi obyek telaahnya. Dia bisa mengamati dan menelaah, misalnya, komunitas moral tertentu seperti pesantren, tanpa harus menjadi santri, dan tanpa harus diikat oleh "moral commitment" yang ada di komunitas itu. Dalam praktek penelaahan ini, jarak antada peneliti/penelaah dan obyek telaahnya dipandang sebagai syarat penting untuk menjamin obyektivitas telaahnya.

Seseorang yang terlalu dekat dengan obyek telaahnya bahkan bisa dicurigai sebagai "saintis yang buruk", karena gagal mengambil jarak. Dia akan dipandang sebagai ilmuwan yang memihak, partisan.

Karena ilmu, dalam perkembangan modern, makin cenderung menjadi "pisau", maka hubungan antara ilmu dan ilmuwan juga bergeser ke corak yang sama sekali lain. Seorang ilmuwan tak memiliki keharusan untuk menunjukkan prilaku moral tertentu. Sebab prilaku seorang ilmuwan adalah bagian dari "privacy" dia; tak ada kait-mengaitnya dengan reputasi dia sebagai seorang ilmuwan.

Dalam konsepsi tradisonal yang saya kenal di pesantren dulu, apa yang disebut 'adalah  (عدالة) dan muru'ah (moral probity), sangat penting kedudukannya dalam menilai reputasi intelektual seorang guru atau kiai.

Bahkan, waktu di pesantren dulu, jika ada santri (apalagi seorang guru) tidak memakai peci, maka dia akan dipandang sebagai individu yang secara moral problematis, "morally questionable". Meskipun, etika peci ini sudah banyak berubah di komunitas pesantren saat ini -- tidak sekeras pada zaman saya mondok dulu di tahun-tahun 70an dan 80an.

Hubungan antara ilmu dan ilmuwan, dalam konteks akademis modern, memang cenderung "instrumental" (saya tak tahu apakah istilah ini tepat dipakai di sini). Hubungan itu mirip seperti hubungan antara penjual dan pembeli. Saya bisa beli sepatu dari penjual manapun; saya tak terlalu mengurus apakah secara personal penjual ini saleh atau tidak, salat-nya rajin atau tidak. Urusan itu adalah masalah pribadi dia, tak ada tali-temalinya dengan keputusan saya membeli sepatu dari penjual bersangkutan.

Dengan kata lain, ada perkembangan menarik di sini: pemisahan antara ilmu dengan "moral personal conduct" dari seorang ilmuwan.

Tentu saja saya agak sedikit mendramatisir di sini. Dengan mengatakan ini, bukan berarti bahwa tak ada kaidah-kaidah moral yang harus ditaati oleh seorang ilmuwan di universitas modern. Saya masih ingat kasus seorang dosen di Divinity School di Universitas Harvard yang dipecat karena dia ketahuan mengkases materi pornografi anak. Kasus ini terjadi sekitar empat-lima tahun lalu.

Tentu saja, ada "moral conduct" yang harus diikuti oleh seorang ilmuwan modern. Tetapi jenis prilaku moral yang dituntut dari seorang ilmuwan modern sudah sama sekali berubah, jauh lebih "longgar".

Ilmuwan modern juga tampaknya tidak menghadapi tuntutakan agar tampil sebagai sosok yang "saleh". Sebab kesalehan tidak melekat sebagai syarat yang mesti dipenuhi pada seorang ilmuwan.

Saya tak melakukan penilaian apapun di sini. Saya hanya menggambarkan pergeseran dalam watak ilmu dan ilmuwan di dunia modern. Sebagai seorang yang berasal dari tradisi pesantren, saya mengamati perubahan ini dengan perasaan takjub tapi juga sekaligus aneh.

Takjub, karena watak ilmu modern yang cenderung menjadi "alat" dan "faithless" ini membawa dampak yang menakjubkan bagi saya. Karena ilmu dipisahkan dari komitmen keimanan seseorang, seorang ilmuwan bisa dengan bebas melakukan riset tanpa dibebani dengan tuduhan sesat, kafir, murtad, dsb.

Perubahan watak ilmu di dunia modern ini, terus terang, membuat perkembangan ilmu, baik sebagai substansi atau metode, berkembang secara meroket. Percobaan dengan metode-metode baru juga terus bermunculan. Kehidupan akademis menjadi sangat dinamis, bahkan kompetitif. Kompetisi akademis mirip dengan pasar modern yang berkembang cepat dalam sistem kapitalisme modern. Saya melihat ini semua dengan takjub dan "mèlongo", terbengong-bengong.

Sementara perkembangan dan produksi pengetahuan di komunitas-komunitas nilai yang memandang ilmu dan komitmen keimanan berkait-berkelindan secara erat, cenderung lambat, stagnan. Pendekatan telaah baru kerap dicurigai. Saya masih ingat kontroversi penggunaan metode "hermeneutika" di kalangan intelektual Muslim beberapa waktu lalu.

Tetapi saya, pada saat bersamaan, juga merasakan keanehan terhadap perkembangan ilmu modern yang pesat ini. Dalam pandangan Yunani kuno, dan ini diteruskan dalam dunia Islam klasik, ilmu dipandang sebagai "sophia", hikmah (حكمة), kebijaksanaan. Tujuan akhir ilmu adalah mencapai kebahagiaan. Sementara kebahagiaan itu tercapai karena kita bisa bertindak secara tepat sesuai dengan kaidah moral. Ilmu dipandang sebagai instrumen yang kita pakai untuk mencapai tujuan akhir itu: kebahagiaan. Inilah yang saya sebut ilmu sofistik di awal tulisan ini.

Dalam dunia modern, tampaknya yang terjadi lain sama sekali. Ilmu telah menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Dia menjadi "intellectual exercise" yang tak mesti (meskipun bisa juga) berkaitan dengan "moral exercise". Seorang ilmuwan bisa saja memiliki ilmu dalam jumlah yang massif, tetapi belum tentu dia memiliki "moral acumen", kebijaksanaan dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu berubah menjadi "pisau", alat. Inilah yang saya sebut sebagai ilmu instrumental.

Dengan kata lain, ada kecenderungan dalam dunia modern ke arah pemisahan antara ilmu dengan ruang kehidupan yang riil. Di satu pihak, perkembangan ini mempunyai dampak positif karena memfasilitasi "eksplosi", ledakan pengetahuan.

Tetapi di sisi lain, ini juga menimbulkan pertanyaan: untuk apa perkembangan pengetahuan yang massif ini? Apakah sekedar menjadi kenikmatan individiual (الفضول العلمى dalam istilah Arab klasik) saja? Ataukah membantu kita untuk meraih kenahagiaan, baik secara publik atau personal?

Waba'du: Apakah saya sudah cukup "pèthènthèngan"?

 😀😀😀

Keterangan gambar: Kitab "Ta'lim al-Muta'allim" yang luas diajarkan di pesantren: tentang metode belajar dan mengajar (didaktik). Kitab ini dikarang oleh Burhan al-Din al-Zarnuji (w. 1223), seorang sarjana pengikut mazhab Hanafi yang hidup di kawasan Turkistan sekarang. Imam al-Zarnuji adalah murid Syekh al-Marghinani, penulis "al-Hidayah", rujukan penting dalam fiqih mazhab Hanafi.

Kitab ini lahir tak lama setelah kitab Ihya' ditulis oleh Imam Ghazali. Sebagaimana Ihya', kitab ini sangat populer di semua kawasan Islam.

By. Ulil Abshar Abdalla

No comments:

Post a Comment